tigapuluh tujuh

46 1 0
                                    

37

"Memiliki saudari yang baik dan perhatian adalah salah satu hal terbaik yang hadir dalam sepanjang hidupku,"---Aisha Valerie.

.
.
.
.
.
.

Degup jantung gadis itu masih berdebar-debar. Map berwarna merah jambu berisi absen kolom nama, asal sekolah dan tanda tangan sudah sampai ke meja Aisha. Dengan cepat ia menulis nama lengkap dan membubuhkan tanda tangan.

Salah satu pengawas lain membagikan kertas lukis berukuran A3. Satu persatu siswa mendapat bagian. Jam menunjukkan pukul 07.55.

"Sebelum ada perintah untuk memulai. Kertas harus masih bersih dari coretan apapun. Lima menit lagi, lomba dengan tema 'Pesona Alam Indonesia' akan dimulai. Silahkan bersiap-siap!" ucap pengawas yang baru saja duduk di kursi  dengan tegas. Semua peserta mengangguk patuh.

Aisha mengeluarkan peralatan lukisnya di atas meja dengan hati-hati dan ditata rapi, begitupun siswa lainnya. Aisha juga mengingat lukisan apa yang akan digambar nanti.

Tepat jam delapan, lomba baru dimulai. Aisha menghela napas dan membuang pelan. Pertama, ia mengambil sebuah pensil standar dan sebuah penggaris berukuran 30 cm. Gadis itu membuat dua titik di setiap sisi kertas sepanjang 2 cm dari luar. Titik-titik itu yang akan ia gunakan untuk membuat garis tepi.

Setelah itu, Aisha menggiring pensilnya untuk menggambar sketsa tipis.

Sketsa telah jadi, Aisha mengambil salah satu kuas. Untuk menyapu sebuah  gambar pantai lokal dengan warna biru gelap dengan telaten dan rapi. Berikut juga dengan pewarnaan sketsa bagian lainnya. Matanya tak pernah lepas dari sketsa garis tipis  yang ada.

Untung saja ia sudah banyak berlatih. Kali ini ia memutuskan untuk melukis dengan teknik plakat. Teknik yang sering digunakan oleh para profesional. Teknik yang hampir sama dengan teknik aquarel, hanya saja menggunakan sapuan tebal dan komposisi cat yang kental. Membuka box yang berisi cat air, dan membuka satu persatu cat yang akan digunakan. Memasukkannya ke dalam palet.

Tiga jam telah berlalu. Waktu melukis sudah habis. Setiap peserta disuruh berdiri dari kursi masing-masing. Aisha sudah siap dengan lukisannya yang bernuansa sedikit gelap. Gambaran pantai ketika di malam hari dengan hiasan taburan bintang, beserta lampu-lampu di sekitar pinggir pantai.

Didepan ruang melukis, terdapat beberapa orang dengan sebuah kamera manual terkalung dileher masing-masing. Mereka dipersilahkan masuk untuk  mengambil potret lukisan dari setiap peserta. Sebelum akhirnya lukisan itu ditarik dan dikumpulkan oleh sang pengawas. Seluruh peserta juga disuruh berbaris secara horizontal untuk berfoto. Ada sekitar 10 flash kamera yang mengarah ke mereka.

-----------

Apa yang diharapkan seseorang ketika berpartisipasi dalam sebuah perlombaan?

Kini Aisha berada di aula didampingi Bu Jeni, duduk di kursi barisan depan. Begitu juga peserta lainnya, didampingi guru masing-masing, menunggu pengumuman.

"Bu, nanti kalo saya kalah. Saya minta maaf ya, Bu?" ucap Aisha sembari menahan gelisah.

"Tidak apa-apa, Aisha. Kemenangan dan kekalahan itu adalah takdir. Jangan ditangisi," ucap Bu Jeni sambil mengelus pundak Aisha.

Juara harapan dua, juara harapan satu sudah disebutkan. Aisha sudah menyerah. Mungkin belum rezeki untuknya. Raut wajahnya menggelap. Ia menangis dalam diam. Satu bulir air mata jatuh mengenai rok abu-abunya.

"Dan... untuk... juara pertama... diraih oleh...," suara itu membuat semua orang penasaran dengan jantung berpacu lebih cepat. Kecuali Aisha, dan beberapa orang lainnya.

Hai, Mas AtletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang