duapuluh sembilan

48 1 0
                                    

29

"Bagi gue, nilai di atas kertas tidak berpengaruh atas segalanya. Bukankah sikap dan tingkah laku lebih diutamakan daripada nilai akademik?"---Reyes Delvin Anderson.
.
.
.

Reyes membuka pintu rumahnya dengan pelan. Perasaannya lega mendapati ruang tamu yang kosong. Artinya dia tidak akan berhadapan dengan bos besar dan nyonya besar. Bisa kena omel sepanjang jalan jika dirinya ketahuan pulang dengan membawa kabar setengah buruk.

Kabar apakah itu?

Reyes berjalan menaiki anak tangga. Menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Melempar tas secara asal ke kasur. Lalu berganti baju dengan kaus oblong.

Setelahnya ia bergegas menuju dapur. Guna membasahi tenggorokannya yang kering.

"Anak mama udah pulang ternyata," ucap Laura.

Reyes menghentikan aksinya saat hendak membuka pintu kulkas.

"Eh, Mama," hanya itu yang keluar dari mulut Reyes. Lalu kembali melanjutkan aksinya.

Cowok itu minum sambil berdiri di depan kulkas. Sedang ibunya duduk di kursi dekat meja makan.

"Tadi Mama denger, hari ini katanya penerimaan raport," ucap Laura sembari memandangi putranya.

Reyes menjauhkan botol air minum sejenak. Mati!

"I-iya, Ma."

"Ambil raportmu, Mama pengen tau nilai kamu!"

Reyes kembali berjalan dengan lesu. Baru saja pulang sekolah, sudah harus naik turun tangga.

'Kalo gue jadi kurus, 'kan nggak lucu, anjir, untung nyokap satu-satunya,' batin Reyes.

Langkah kakinya semakin berat, ketika di dapur sudah terdengar suara orang lagi. Mereka mengobrol, Reyes sudah tahu jelas itu suara siapa.

"Waduh, bisa rebek nih!" Reyes menyigar rambut kepalanya cepat.

"Sans, kalem, woles. Lu anak baek-baek, nggak bakal diceramahin kok," ucapnya lagi sambil terus menerus menelan ludah.

Kegembiraan yang ia duga setelah awal masuk rumah tadi. Seketika lenyap, bahwa ternyata kedua orang tuanya hanya tidak menunjukkan diri di ruangan depan.

-----------------------

"Kenapa nilaimu bisa anjlok begini, hah? Jawab!" bentak lelaki hampir paruh baya itu. Setelah membaca nilai-nilai yang tertera di buku raport. Nilai yang biasanya diatas 90 kini turun di angka 80 an.

"Pasti karena main bola, sudah berapa kali Papa bilang. Fokuskan dirimu ke nilai akademik!" tandas Anderson menatap tajam ke arah wajah putranya.

"Maaf Pa,  tapi pasion Reyes ada di bidang olahraga."

"Masih berani kamu beralasan seperti itu lagi? Sudah-sudah, Papa sudah bosan dengan alasanmu. Dan tidak peduli lagi alasanmu. Sekarang apapun terserah kamu." Anderson menghela napas. Seolah sudah pasrah menasehati putra satu-satunya.

Reyes masih menunduk. Menatap ubin lantai.

Mendengar kata terserah, Reyes merasa seolah sudah tidak diharapkan lagi oleh ayahnya. Tetapi di sisi lain, ia merasa bahagia. Karena tak harus mati-matian mempertahankan nilai di bidang akademik. Padahal mengingat hari ketika ia menang lomba voli se kabupaten kemarin. Ayahnya ikut mensponsori timnya dalam merayakan kemenangan. Tetapi sekarang... dirinya kembali ditagih untuk menunjukkan nilai akademis yang stabil seperti sebelumnya.

'Kalo gue udah nggak diharepin, kenapa nggak bikin anak lagi aja,' batin Reyes tertekan.

BRAK!

Buku raport berwarna hitam itu terhempas keras di meja makan. Membuat air minum yang terletak di meja ikut bergetar. Seketika nyali Reyes menciut. Laura pun bergeming.

Hai, Mas AtletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang