1. Caleb

15.8K 1.8K 28
                                    

Art should be serious, not a joke.

**

Art should be serious, not a joke.

Gerhard Richter pernah berkata seperti itu. Seni itu sesuatu yang tidak bisa dijadikan lelucon. Kami, para pelaku seni, seringkali tampil sebagai sosok yang aneh, freak, whatever you name it.

But for me, as an artist myself, we are one of a kind.

Orang pertama yang menertawakan cita-citaku untuk menjadi pelukis adalah teman di sekolah dasar. Guruku waktu itu hanya tersenyum tipis. Aku tidak tahu apakah dia ikut menertawakan cita-citaku, atau menyesal sudah menyuruhku maju ke depan kelas untuk bercerita tentang cita-citaku saat sudah dewasa nanti.

Mungkin dia juga menertawakan bahasa Indonesia-ku yang kurang jelas.

Dengan kemampuan bahasa Indonesia yang terbatas, aku tidak bisa membela diri. Jadi, kubiarkan saja teman-temanku tertawa. Lagipula aku juga kurang paham dengan yang mereka katakan.

Tapi tetap saja, siapa yang tidak kesal? Rasa kesal itu ikut terbawa sampai ke rumah.

Mama, yang aku nobatkan sebagai ibu paling baik sedunia, sekaligus ibu paling sensitif, langsung mencium ada yang salah denganku.

"I want to be a painter but they laughed at me," aduku, ketika mama menghampiriku di kamar, saat aku mogok untuk makan siang.

"Siapa?" Mama bertanya dalam bahasa Indonesia. Mama bukan orang Indonesia. Dia baru belajar bahasa Indonesia beberapa tahun belakangan, tepatnya setelah menikah dengan papa. Saat ini kami pindah ke Jakarta tiga bulan yang lalu, mama membiasakan untuk bicara dalam bahasa Indonesia. Alasannya agar kami--aku dan kedua kakakku--terbiasa karena sekarang kami tinggal di Jakarta.

"My friends. Edo and Sigit."

Mama menganggukkan kepala. "Terus?"

Aku mengangkat bahu. "They want to work at the office when they grow up. Boring."

Mama tertawa kecil ketika mendengar rajukanku. "Dek, kamu juga menertawakan cita-cita mereka, lho. Apa salahnya bekerja kantoran?"

Tidak ada yang salah dengan itu. Sama sepertiku, tidak ada yang salah dengan cita-citaku.

"But they laughed at me."

"Bagi sebagian orang, cita-citamu mungkin terdengar berbeda. Tidak ada yang salah dengan itu, karena kamu bebas menjadi apa pun yang kamu mau. Beberapa orang butuh waktu untuk menerimanya, dan mungkin teman-temanmu baru akan paham setelah mereka dewasa nanti."

Aku tidak menanggapi perkataan mama, karena aku masih kesal. Sejak itu, aku tidak mengizinkan siapa pun menertawakan cita-citaku lagi.

Once I decide to do something, I stick to my word.

Lagipula, aku tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan selain melukis. Berada di antara cat minyak membuatku bahagia. Melihat bidang putih yang kosong selalu membuat tanganku terasa gatal ingin menggoreskan sesuatu di sana. Dulu, aku menjadikan dinding rumah sebagai kanvas pertama tempat belajar melukis. Thanks to my Pap, yang mendukungku untuk menggambar di dinding sekalipun hasilnya jelek dan membuat rumah jadi berantakan. Beranjak SMP, papa menambahkan ruangan kecil di samping rumah sebagai kado ulang tahun, dan ruangan itu menjadi studio lukis pertamaku yang masih bertahan sampai sekarang.

I spent half of my life in London. Aku lahir di sana sebelum pulang ke Jakarta dan menghabiskan waktu sampai lulus SMA. Setelah itu, aku kembali ke London dan menekuni seni lukis dengan lebih serius.

For all of my life, all I know is I want to be a painter. Lukisanku tidak akan sebagus karyanya Richter atau Kahlo. Lukisanku juga tidak akan dihargai jutaan dolar di rumah lelang seperti karya Van Gogh dan Picasso.

But this is my life and I like it.

Setelah merangkak dari bawah di London, hingga akhirnya cukup punya nama di kalangan contemporary art, dengan posisiku yang cukup memuaskan di ARTE, sebuah galeri seni di daerah Shoreditch yang diwariskan oleh profesorku sewaktu kuliah dulu, seharusnya aku merasa cukup.

I'm not an overachiever like my older brother Rama or ambitious like my sister Rani. I just let it flow.

Namun, aku sampai di satu titik bahwa ARTE dan semua yang kupunya di London, tidak membuatku puas. Aku bahkan tidak bisa melukis apa pun. Selama berhari-hari mengurung diri di studio, yang kulakukan hanyalah memandangi kanvas kosong.

Then, I flew home.

I mean, Jakarta.

I consider London as my hometown but I left my heart in Jakarta.

Tepatnya, seseorang membawa separuh hatiku terbang ke Jakarta dua tahun lalu, meninggalkanku di London dengan luka hati yang masih menganga sampai sekarang.

Aku tidak tahu alasanku kembali ke Jakarta. Kepada semua orang, aku beralasan ingin membawa ARTE ke Jakarta. Kali ini, galeri seni milikku sendiri, yang kubangun dari nol.

Tidak ada yang tahu bahwa ARTE hanya kamuflase.

"This is good."

Aku menoleh dan mendapati Rani, kakakku, melangkah masuk ke dalam galeri yang hampir jadi ini. Seharusnya galeri ini sudah dibuka bulan lalu, tapi ada kendala dalam pengiriman lukisan dari London sehingga terpaksa diundur.

"So, what's next?"

Aku menyelipkan tangan ke dalam saku celana jeans. "Susah ya mencari orang yang mengerti seni untuk bekerja di sini."

Rani tertawa kecil, tapi ekspresi itu langsung berubah ketika dia menatapku. "Please don't tell me."

"What?" tanyaku, entah kenapa aku langsung merasa defensif dengan pertanyaan itu.

Kakakku itu menggeleng dengan raut wajah prihatin. "Kamu masih berharap Lydia akan membantumu mengurus galeri ini."

The one should not be named.

Aku mengalihkan pandangan ke sekeliling galeri, berusaha mencegah munculnya gejolak dari dalam diri yang mengingatkanku kepada luka di hatiku.

Luka yang ditinggalkannya dua tahun lalu, ketika dia mengakhiri hubungan denganku.

"I'm not," bantahku.

Rani mendengkus. "You can't lie to me. Your face says it all."

Aku terdiam, mempersiapkan diri untuk mendengarkan nasihatnya, yang isinya selalu sama. Dia ingin aku melupakan Lydia, mengobati patah hati, lalu mencoba untuk move on.

Easier said than done.

"Well, I think this is a good idea. I'll help you to find the right person to handle this. Have you thought about Tania?"

Aku mengangguk. "Thanks. She's good. I believe she can manage this gallery."

"But?" Rani menatapku dengan mata menyelidik.

"Tania enggak akan bisa sendiri, sementara aku juga enggak yakin bisa membantu banyak. I need someone else." Aku langsung menggeleng begitu Rani sudah membuka mulut. "No, it's not Lydia. Yes, I asked her but she said no."

"Well, maybe the right person will step into your door right now."

Seolah seperti keajaiban, tepat setelah Rani menyelesaikan kata-katanya, pintu galeri terbuka.

Di sana, di pintu itu, berdiri seorang perempuan dengan senyum lebar di wajah, dan baju warna-warni yang membuatku sakit mata.

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang