34. Caleb

7K 1.7K 102
                                    

Red, the color of passions!

**

Selama seminggu terakhir aku hanya memikirkan Saujana. Pameran pertama Anggara Pandji, yang juga menjadi pameran pertama di ARTE. Ini hal penting untukku, juga untuk ARTE. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain.

Tidak perlu memikirkan Lydia. Dia langsung pergi setelah meminta maaf berkali-kali karena perangai Galih. Lydia tidak lagi menghubungiku. Entah bagaimana hubungannya dengan Galih, aku tidak peduli dan tidak mau tahu. Itu bukan urusanku.

Aku juga tidak memikirkan Azka. Meski harus diakui kalau aku sengaja menghindarinya.

Pagi itu, ketika mendapati Azka memberitahu Lydia soal Galih, aku tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan. Aku ingin marah karena dia terlalu ikut campur. Ini urusanku dan Lydia, juga Galih. Azka tidak ada hubungannya dengan masalah itu. Dia cuma bersikap seperti biasa, terlalu ribut dan ikut campur. Padahal dia sendiri juga punya masalah tapi malah mengurus hal lain.

Di sisi lain aku ingin memeluknya, sekadar ucapan terima kasih. Aku ingin memberitahu Lydia soal Galih, tapi belum menemukan cara dan momen yang pas. Azka yang ikut campur, cukup meringankan bebanku.

Namun, aku juga tidak melakukannya.

Selama seminggu terakhir, ketika aku enggak sengaja berpapasan dengan Azka, dia sengaja melengos. Entah apa yang membuat suasana hatinya jadi buruk. Mungkin karena dia enggak ingin pameran ini jadi berantakan karena aku enggak bisa mengendalikan kehidupan pribadiku.

Malam ini, aku tidak bisa lagi menghindari Azka. Dia juga tidak bisa lagi melengos begitu berpapasan denganku.

"Mas, ngapain di sini. Di bawah udah rame."

Aku berbalik dan mendapati Azka berdiri di pintu yang terhubung ke rooftop. Aku sengaja menghabiskan sore di rooftop, sekaligus melihat tamu yang berdatangan memenuhi ARTE.

Malam ini pembukaan pameran Saujana.

Aku berbalik dan melangkah mendekati Azka, tapi Azka sudah telanjur mendahuluiku menuruni tangga. Sambil melangkah di belakangnya, aku mengikuti sosok itu. Malam ini sama seperti biasanya, Azka tampak meriah dalam pakaian warna warni. Siapa pun yang melihat pilihan pakaiannya, akan menyimpulkan Azka sebagai sosok perempuan muda yang hidup tanpa beban. Karena tidak akan ada orang yang terlilit masalah berat, tampil penuh percaya diri dengan dress merah terang seperti itu.

"Damn," umpatan meluncur dari bibirnya ketika kakinya yang dibalut sepatu boots tinggi, tergelincir di tangga. Azka menyambar dinding, tapi tidak cukup membantu.

Aku menyambar lengannya, lalu menahan pinggangnya sebelum dia meluncur di tangga. Di bawah peganganku, aku bisa merasakan tubuhnya bergetar.

"Makasih," bisiknya.

Selama beberapa saat, Azka berdiri sambil mengatur napas. Sementara aku berada di dekatnya, terus berjaga di sekitarnya.

Azka mendongak dan bersitatap denganku. Bukan pakaiannya saja yang meriah, malam ini Azka juga merias wajahnya dengan full makeup yang membuatnya terlihat makin cantik.

Sehari-hari, Azka memang memakai makeup tipis yang membuatnya terlihat segar. Malam ini, dia tampak berbeda dengan mata yang tampak lebih besar dan bibir yang merekah di balik lipstik merah terang, senada dengan pakaiannya.

She looks ... sexy.

Aku menelan ludah, sekaligus mengalihkan pandangan dari bibirnya.

"I'm fine. Mas bisa lepasin aku."

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang