8. Azka

6.4K 1.5K 43
                                    

Lukisan ini namanya Despair. Menurut bisik-bisik, katanya Mas @calebraka membuatnya karena lagi patah hati. Kidding, Mas. Jangan pecat aku ya, he-he. Btw, you guys should come. We welcome you to ARTE. Dijamin bakalan suka dan terkagum-kagum sama lukisan yang ada di sini.

PS: ini bukan paid promote ya. Sekian dan terima gaji.

#artgallery #jakartahottestplace #artejakarta

Liked by calebraka and 5998 others

View 987 comments

@artejakarta : Ditunggu ya kedatangannya.

@calistarani : you're so cute. Kapan kita collab?

**

Ada banyak alasan yang membuatku suka bekerja di ARTE. Bukan karena tempatnya membuatku terlihat lebih classy, tapi karena aku benar-benar suka dengan pola kerja yang santai tapi terstruktur. Enggak ada peraturan yang mengikat, bahkan jam kerjanya saja bebas. Yang penting, pekerjaan kelar tepat waktu.

Jadi, aku punya kesempatan untuk mengurus persiapan kuliah.

Alasan lain yang membuatku suka bekerja di ARTE, sekalipun pekerjaanku sepertinya enggak habis-habis, adalah Mas Caleb.

Awalnya aku memang merasa canggung dengannya. Dia sangat pendiam, wajahnya sering ditekuk sehingga terlihat jutek. Kalau kata Becca, 'he's cool' tapi menurutku, dia grumpy. Well, dia enggak selalu menggerutu sih. Cuma kalau wajahnya lagi ditekuk dan enggak senyum, dia mirip Grouchy Smurf. Mukanya masam dan bikin malas berurusan dengannya.

Satu lagi, dia sangat suka mengurung diri di studionya. Selama bekerja di sini, aku belum pernah menginjakkan kaki di studio. Kata Tania, itu area terlarang. Hanya yang berkepentingan atau yang mendapat izin khusus dari Caleb yang boleh masuk ke sana. Sampai sekarang, aku enggak punya kepentingan apa-apa dan enggak mendapat izin, jadi lantai tiga masih menjadi tanda tanya besar buatku.

Setiap hari, aku punya permainan dengan semua karyawan di sini. Namanya, Teng Teng Caleb.

Maksudnya, menebak mood Caleb di hari itu.

Seringnya dia menjadi Grumpy Caleb. Lain waktu jadi Bad Mood Caleb. Ada juga Zombie Caleb–kalau dia habis begadang berhari-hari untuk menyelesaikan lukisannya. Sangat jarang dia menjadi Smiley Caleb, sementara Happy Caleb masih MIA.

Aku membuka pintu ARTE sambil mempersiapkan diri karena menurut Tania, Bad Mood Caleb is in action.

Dia ada di ruang pameran di lantai satu. Tumben dia ada di sini, karena biasanya dia paling malas berada di lantai satu.

"Siang, Mas Caleb. Aku ... eh ada tamu." Aku langsung tergagap saat menyadari dia tidak sendirian.

Caleb berbalik, membuatku deg-degan setengah mati. Bad Mood Caleb bukan jenis yang mudah untuk dihadapi. Lebih baik enggak berurusan dengan Bad Mood Caleb karena mulutnya bisa lebih pedas dibanding petasan.

Terakhir kali dia menyebutku ondel-ondel karena menurutnya pakaianku terlalu colorful. Sebagai pelukis, harusnya dia paham kalau spektrum warna itu banyak, enggak cuma hitam, seperti yang dia pakai setiap hari.

"Siang, Azka."

Mataku terbelalak saat mendengar balasannya. Terlebih, dia tersenyum.

Ini Smiley Caleb. Bukan Bad Mood Caleb.

Tania salah besar hari ini.

Mataku melirik sosok yang ada di ruangan ini–dan dia juga tengah menatapku. Mungkin calon pembeli, atau seniman yang tengah didekati Caleb agar mau memajang lukisannya di sini. Aku baru melihatnya kali ini, tapi aku bisa menyimpulkan kalau dia sangat cantik. Perempuan itu sepertinya seusia Caleb, atau setidaknya beberapa tahun lebih muda. Dia sangat anggun, dengan black dress selutut serta rambut hitam panjang yang dibiarkan tergerai. Makeup minimalis membuat wajahnya terlihat segar. She's stunningly beautiful.

"Raka..."

Caleb menoleh ke arah perempuan itu. Wait a minute, dia memanggil Raka?

Aku pernah mendengar Mbak Calista memanggil Caleb dengan sebutan itu. Katanya, itu panggilan di keluarga mereka.

Perempuan ini memanggilnya Raka.

Aku terkesiap. Dia bukan calon pembeli, juga bukan seniman yang ingin diajak bekerjasama. Dia punya hubungan spesial dengan Caleb, tidak mungkin dia memanggil dengan nama kecil kalau mereka tidak punya hubungan apa-apa.

Jangan-jangan mereka pacaran? Bisa saja, meski rasanya juga tidak mungkin. Ada kesan dingin dan jarak yang sengaja diciptakan di antara mereka.

Perempuan itu berdeham, diikuti dengan lirikan yang tertuju kepadaku. Aku tergagap, karena dia jelas-jelas tidak menginginkan kehadiranku di sini.

"Aku ke atas dulu. By the way, Anggara Panji sudah setuju buat ketemu. Aku set jadwal meeting besok pagi pukul sepuluh ya, Mas. Nanti aku kirim undangannya ke email Mas Caleb. Terus soal..." Ucapanku terhenti ketika perempuan itu kembali berdeham.

Stupid Azka. Dia ingin aku pergi, tapi aku malah mencerocos tanpa henti begini.

"Detailnya aku emailin," ujarku, dan mengambil langkah panjang menuju tangga.

Sesampainya di lantai dua, aku langsung menghampiiri Tania. Aku enggak bisa bekerja dengan tenang karena penasaran dengan perempuan itu.

"Yang di bawah siapa, sih?"

Tania cuma melirik sekilas sebelum kembali menekuni laptop.

"Tan..." Aku mengguncang lengannya, membuat Tania terpaksa menghentikan kesibukannya.

"Gue enggak kenal dia siapa. Kayaknya temannya Caleb."

"Kayaknya enggak mungkin teman, Deh. Dia manggilnya Raka. Mana ada teman manggil nama kecil begitu," lanjutku.

Tania memutar tubuhnya hingga berhadapan denganku. "Mau teman atau bukan, apa hubungannya sama lo?"

"Enggak ada, sih. Tapi gue kepo."

Tania mengibaskan tangannya. "Jangan kepoin yang enggak perlu lo kepoin, kecuali lo punya niat lain." Tania menatapku dengan mata menyipit. "Lo enggak punya niat lain, kan?"

"Ya enggaklah. Pure kepo aja gue."

"Ya udah. Enggak usah dipikirin. No gossip, ya. Anyway, Anggara udah balas?"

Aku memberitahu Tania hal yang sama dengan yang tadi kuberitahu kepada Caleb.

"Gue ada meeting sama Cosmopolitan, jadi lo yang temenin Caleb ya."

Aku berjengit. "Dia kan bisa sendiri."

"Lo kayak enggak tahu dia aja. Anggara itu agak sulit, ketemu Caleb yang jutek begitu, yang ada bakalan berantem."

I got her point. "Gue banget, nih?"

"Siapa lagi?" Tania balas bertanya. "Berdoa aja besok at least dia jadi Just Caleb."

Aku mengentakkan kaki sambil menuju mejaku. Bukannya aku enggak mau menemani Caleb bertemu dengan pelukis baru yang sedang naik daun itu. Namun, aku belum pernah pergi berdua dengannya. Iya kalau dia bisa jadi Just Caleb–sebutan kalau Caleb sedang dalam mode normal. Kalau dia menjadi Grumpy Caleb, atau amit-amit Bad Mood Caleb, bisa-bisa aku ikutan bete sepanjang hari.

"Btw, hari ini lo salah. Tadi dia jadi Smiley Caleb" ucapku.

"Oh ya? Sebelumnya dia marah-marah mulu, tuh."

Sontak aku berbalik menatap Tania. Rasa penasaran kembali menguasaiku. "Pasti karena yang di bawah, makanya dia jadi Smiley Caleb."

Tania mengangkat tangan, lalu memberi kode agar aku mengecek pekerjaan. No time for gossip, itu motto Tania.

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang