19. Azka

5.8K 1.5K 90
                                    

I love walking. It helps me clear my mind. Even though Kemang is not a pleasant way to walk.

#walking #strollingaround

Like by kevinrio and 7632 others

view 846 comments

shensheany: I love your boots. Beli di mana?

kariannagrizelle: girl, I miss when we strolled around Paris last summer.

**

Kemang punya trotoar lebar, tapi sama sekali enggak nyaman buat jalan kaki. Apalagi sore seperti ini, karena bunyi klakson membuat emosiku makin mendidih. Padahal aku sengaja jalan kaki untuk menenangkan diri, nyatanya malah membuat emosi makin menjadi-jadi.

Semuanya gara-gara Caleb. Aku menjadi Grumpy Azka karena Caleb.

Sebelum kepalaku meledak karena klakson motor yang merasa jalannya dihalangi karena aku berjalan di trotoar, kuputuskan untuk kembali ke ARTE.

Ketika sampai di lantai dua, aku mendengar suara langkah kaki menuruni tangga dari lantai tiga. Pasti Caleb. Aku memasang ekspresi datar sebelum dia muncul.

Ekspresi datar yang kulatih mendadak hilang karena Caleb enggak sendirian. Ada Lydia di belakangnya.

Refleks, aku tertawa. Tepatnya, menertawakan diriku sendiri.

Belum sampai setengah jam yang lalu dia memarahiku karena mendatangi studio. Sekarang dia keluar dari studio bersama Lydia.

Dia memarahiku, tapi mengizinkan Lydia.

Caleb menatapku, wajahnya terlihat datar ketika dia mempertahankan tatapannya di wajahku.

Aku sudah membuka mulut untuk menyindirnya. Bukannya dia sendiri yang bilang kalau mantan harus ditinggalkan karena cuma mendatangkan masalah? Sekarang dia malah bersama si biang masalah.

Namun, aku teringat ucapan Caleb beberapa saat yang lalu.

"You talk too much."

Jadi, aku melengos. Tidak perlu menyindirnya, atau bicara sepatah kata pun. Aku kembali ke meja dan mengabaikan Caleb yang masih menatapku.

Meskipun enggak melihatnya langsung, aku bisa merasakan tatapan Caleb tertuju kepadaku. Seolah ada laser yang ditujukan kepadaku. Aku terpaksa menunduk karena wajahku memanas. Aku ingin berteriak, menyuruhnya berhenti memandangiku tapi peringatannya lagi-lagi membuatku memilih untuk tutup mulut.

"Raka..."

Sambil menunduk, aku menggeram. Dasar bodoh, ngapain dia masih berurusan dengan Lydia? Kalau aku jadi dia, aku enggak akan mau berurusan dengan mantan. Apalagi mengingat suaminya yang kayak preman pasar itu. Orang waras akan kapok berurusan dengan Lydia.

Tapi, aku pernah dengar kalau jatuh cinta bisa membuat seseorang jadi bodoh. Stupid Caleb ada karena dia mencintai Lydia.

Aku menarik napas lega ketika Caleb akhirnya meninggalkan ruangan ini, diikuti Lydia.

"Cakep, tapi bego," gerutuku. "Lukisan di atas pasti Lydia. Rambutnya beda, sih, kali aja dulu rambut Lydia panjang ikal begitu, kayak di lukisan. Bisa-bisanya dia melukis mantan, padahal mantannya udah nikah. Mana lakinya seram begitu. Iya, sih, kadang mulutnya kayak petasan, enggak sadar udah nyakitin orang. Tapi dia sebenarnya cukup lembut dan sensitif. Beda sama preman pasar suaminya Lydia. Jangan-jangan Lydia juga belum move on? Dasar dua orang bego."

Aku mengetik email untuk asisten Anggara, sambil terus mengutuk kebodohan Caleb. Ada banyak skenario bermain di benakku soal Caleb dan Lydia. Mungkin Lydia dijodohin sehingga terpaksa putus. Mungkin juga orang tua mereka enggak setuju. Makanya mereka masih berhubungan sekalipun Lydia sudah menikah.

Aku menggeleng. "Ngapain mikirin dia? Enggak penting."

Sekuat tenaga, aku mengusir pemikiran itu. Lebih baik fokus pada permintaan yang diajukan Anggara untuk proyek pameran pertamanya.

Konsentrasiku terganggu ketika gelas plastik berisi kopi diletakkan di meja. Aku mendongak dan bersitatap dengan Caleb.

"Permintaan maaf dariku."

Aku menatapnya dengan mata menyipit, sekuat tenaga menahan diri untuk tidak mengatakan apa pun.

"Ini buat ucapan terima kasih."

Sekarang, dia meletakkan donat.

Ludahku menetes melihat kopi dan donat. Aku memang butuh kopi, tapi aku juga gengsi. Jadi, aku kembali fokus menulis email dan mengabaikan kopi serta donat itu.

"Aku enggak bermaksud memarahimu. Cuma ... aku enggak mau ada yang melihat lukisanku sebelum waktunya." Caleb kembali bicara.

Aku masih tutup mulut.

"I'm fine. Lukanya enggak infeksi, kalau itu bikin kamu khawatir."

Baguslah. Aku bisa melihatnya sendiri, enggak perlu dijelasin juga.

"Soal Anggara, aku sudah baca detailnya. I'm good with that. Kapan kita bisa bertemu dengannya buat mulai kurasi?"

Aku mengangkat bahu, masih sibuk dengan mengetikkan balasan untuk Anggara.

"Azka..."

Kali ini, aku mendengung singkat.

"Please say something."

Alih-alih menjawab, aku membuka aplikasi chat di laptop dan mengetikkan sesuatu. Tidak lama, terdengar notifikasi di ponsel Caleb.

Dia merogoh celananya untuk mengambil ponsel.

"I talk too much." Itu kalimat yang kutulis di pesan itu dan Caleb membacanya keras-keras. "Okay I'm sorry. Aku enggak bermaksud memarahimu."

Sekali lagi, aku mengangkat bahu.

"Jadi, kamu mogok ngomong?"

Akhirnya aku berhenti pura-pura mengetik dan membalas tatapannya. "Yes, I talk too much. Jadi makasih buat peringatannya. Setelah ini, aku cuma ngomong seperlunya."

Perlahan, Caleb menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. "Aku lagi bad mood dan kamu ada di tempat yang salah. Sorry, sudah marah-marah padahal kamu enggak salah."

Baguslah kalau sadar. Aku menyimpan pikiran itu dalam benakku.

"Jangan mogok ngomong. Galeri ini terlalu kosong kalau kamu enggak ngomong apa-apa. Bright Azka suits you better."

Aku berusaha menahan ekspresi agar tetap datar, tapi sulit karena sekarang aku malah tersenyum lebar seperti orang bodoh. Caleb tertawa, seolah baru saja melepaskan beban berat di pundaknya.

"Sebagai permintaan maaf, kamu bisa menjawab pertanyaanku," ujarku.

Caleb berdiri tegap di seberang meja kerjaku. Perlahan dia mengangguk.

"Kenapa kamu enggak ngizinin siapa pun ke studio?" tanyaku. "Ralat, kamu ngizinin Lydia."

Aneh, aku merasa keberatan mengucapkan nama Lydia keras-keras.

"Aku enggak mengizinkan Lydia dan aku sudah memperingatkan satpam, juga Tania, untuk enggak mengizinkan dia naik ke lantai tiga. Menjawab pertanyaanmu, aku enggak suka ada yang melihat lukisanku sebelum selesai. Aku sudah janji akan memberitahumu kalau lukisan itu sudah selesai." Caleb menjawab dengan tegas.

"Who is she?"

Caleb menatapku dengan kening berkerut.

"Faceless woman di lukisanmu."

Raut wajahnya berubah gelisah, membuat rasa penasaranku semakin menjadi-jadi.

Setelah satu tarikan napas, Caleb menggeleng. "I don't know. Dia ada di benakku, tapi aku enggak bisa memvisualisasikan dengan jelas siapa perempuan itu."

"Lydia?" tanyaku.

"Maybe. Or maybe someone else."

Caleb tidak melepaskan tatapannya dariku, membuatku berubah menjadi Stupid Azka karena bisa-bisanya aku berpikir someone else yang dimaksud Caleb adalah aku.

Stupid me.

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang