I can't help you as long as you don't want me to help you.
**
Aku menarik Lydia menaiki tangga dan tidak berhenti sampai mencapai studio.
"Kamu tunggu di sini. Aku masih ada pekerjaan di bawah."
Lydia menahan tanganku ketika aku membuka pintu. Aku sudah setengah berada di luar studio ketika dia memelukku dan menyandarkan tubuhnya di punggungku. Meski membelakanginya, aku bisa merasakan tubuhnya bergetar seiring isak tangis yang keluar dari bibirnya.
"Lima menit aja, aku cuma butuh lima menit."
Aku menghela napas panjang, lalu berdiri kaku di tempat. Aku tidak membalas pelukan itu, juga tidak melepaskannya. Mataku tertuju pada jam tangan, menghitung mundur sampai lima menit berlalu, sebelum mengurai pelukannya.
Lydia masih terisak. Dia juga menggigil, terlebih ketika dia merapatkan cardigan yang dipakainya. Dia selalu memakai cardigan, mungkin karena dia harus menyembunyikan lebam dan luka yang disebabkan oleh suaminya.
Penyebab tangisan malam ini pasti masih sama. Galih.
Aku tidak bisa menyalahkan Lydia sepenuhnya. Tidak mudah untuk keluar dari pernikahan itu, sekalipun Galih memperlakukannya dengan buruk. Aku mencoba mengerti ketika Lydia masih membela suaminya.
Namun, yang tidak kumengerti, mengapa dia mencariku untuk meminta pertolongan? Sementara dia tidak punya keinginan untuk menolong dirinya sendiri.
Percuma saja membantu, karena dia sama sekali tidak ingin dibantu.
Semua ketidakjelasan ini membuatku bingung dalam bersikap.
"Aku enggak bisa lama-lama, jadi kamu menunggu di sini. Kalau sudah tenang, kamu bisa pergi."
Ada luka yang terlihat jelas di wajahnya ketika aku mengutarakan hal tersebut. Sejenak, aku merasa bersalah. Namun, lagi-lagi aku memilih untuk bersikap egois dan membenarkan tindakanku barusan.
"I'm sorry. Aku ... aku enggak tahu harus ke mana."
"Kamu jelas tahu harus ke mana. Kamu bisa ke rumah sakit untuk mendapatkan visum lalu menyerahkan laporannya ke polisi," timpalku.
Lydia terkesiap. Dia membuka mulut, siap untuk membalas ucapanku. Namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
"Namun, kamu malah datang ke hadapanku meminta pertolongan. Aku enggak bisa membantumu selama kamu enggak mengizinkan dirimu mencari pertolongan yang sebenarnya." Aku melanjutkan.
"Raka..."
Aku mengangkat tangan, mencegah apa pun yang ingin diucapkan Lydia.
"Aku mencoba mengerti perasaanmu. Tentunya ini enggak mudah untukmu, karena itu aku mencoba membantu. Tapi percuma aja, kalau kamu masih begini. Sekarang aku tanya, apa yang membuatmu enggak bisa melepaskan Galih?" Aku bertanya tanpa melepaskan tatapan darinya.
Malam ini semuanya harus jelas. Aku tidak ingin terjebak lebih lama lagi di antara Lydia dan Galih. Semua usahaku untuk melupakannya selama dua tahun ini jadi terasa sia-sia.
Dan juga, selama ada Lydia, Azka akan terus menatapku dengan tatapan penuh permusuhan.
"Kalau kamu sudah membuat keputusan dan butuh teman yang mendukungmu, aku bersedia."
Lydia mengusap sudut matanya yang mulai tergenang. "Aku enggak bisa, Raka."
"Terus, apa gunanya kamu menemuiku?"
Lydia membalas tatapanku. Wajahnya terlihat sendu, siapa pun yang melihatnya bisa merasakan luka yang ditanggungnya. Luka yang membuat siapa saja ingin merengkuhnya, memeluknya, dan menenangkannya.
Lydia tampak rapuh, dan ada bagian hatiku yang ingin membantunya mengatasi masalah ini. Namun kenyataan hanya membuatku terjebak. Aku ingin membantunya, tapi Lydia membuat semuanya jadi sulit.
"Aku ... aku enggak bisa."
"Kamu cuma enggak mau," tukasku.
"Mungkin."
Aku menghela napas panjang. "Bukannya aku enggak bersimpati kepadamu, tapi kalau kamu enggak ada keinginan untuk lepas dari Galih, enggak ada yang bisa kubantu. Selamanya kamu akan hidup dalam ketakutan seperti ini."
Tangis Lydia semakin menjadi-jadi. Pundaknya berguncang karena sekarang dia tidak lagi menyembunyikan tangisannya.
"Aku enggak bisa Raka. Aku ... aku ... hamil."
Pengakuan itu membuatku terpaku. Dan juga, karena dari sudut mata, aku melihat Azka terpaku tidak jauh dari tempatku saat ini.
Dia pasti mendengar pengakuan Lydia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Paint
RomansaHe speaks with color! Caleb Raka, pelukis yang mengungkapkan isi hati lewat warna. Dia pernah jatuh cinta, tapi terpaksa merelakan perempuan yang dicintainya memilih orang lain. Azalea Karina. They said she lives with golden spoon in her mouth. Namu...