6. Caleb

6.9K 1.6K 89
                                    

I speak with colors

**

"Apa susahnya, sih, buat senyum?"

Di depanku, Rani memelotot sambil berkacak pinggang. Seumur hidup menjadi adiknya, membuatku sangat mengenal kakakku ini. Dia tidak akan meninggalkanku sebelum aku melakukan apa yang dia suruh. Jadi, aku memaksakan diri untuk tersenyum, sambil mencari kesempatan untuk menyelinap kembali ke studio dan menyelesaikan lukisan yang terbengkalai.

Rani mendecakkan lidah. Tiba-tiba saja dia menangkup wajahku dan menarik bibirku hingga tersenyum lebar.

"Smile. Mana ada yang mau datang ke sini kalau lo cemberut terus."

Aku menepis tangannya, sama sekali tidak menutupi perasaan terganggu karena tingkahnya barusan.

"This is your gallery, Dek. Bisa, kan, bersikap sedikit ramah?"

I know she has good intentions. Malah aku sangat berterima kasih kepada kakakku ini. Sebagai pendatang baru, terlebih di Jakarta, aku mengambil langkah yang sangat berani dengan mendirikan galeri seni. Meskipun ARTE sudah punya cukup nama di London, beda halnya dengan Jakarta. Aku harus siap merugi kalau tidak ada satu pun yang tertarik datang ke galeri ini.

Rani langsung menunjuk dirinya sebagai unofficial brand ambassador ARTE tanpa berdiskusi denganku. Not that I'm complaining. As one of the top celebrities in Indonesia, she has huge followers. Aku tidak bisa menutup mata atas dampak yang diberikan oleh Rani, setiap kali dia mempromosikan ARTE di Instagram pribadinya.

Meski memiliki darah yang sama, kami punya sifat yang bertolak belakang. Aku selalu capek melihat Rani dengan semua aktivitasnya di publik. Sementara Rani tidak pernah bisa paham kenapa aku betah mengurung diri berhari-hari di studio dan anti bertemu orang banyak.

Rani langsung menceramahiku ketika aku tidak ingin mengadakan event apa pun untuk menyambut ARTE. Dia memberikan ide grand launching, yang langsung disetujui oleh Tania. Di atas kertas, aku pemilik galeri ini. Namun, aku kalah suara dari dua perempuan itu.

Meski, setelah dipikir-pikir, aku memang membutuhkan publikasi besar-besaran seperti ini. ARTE membutuhkannya. Jadi, aku menyerahkan semuanya kepada Tania.

Tadinya aku juga menyuruh Tania yang mengatur acara malam ini, tapi niatku ditentang. Lagi-lagi, mereka satu suara. Kali ini ditambah suara Azka, yang selama dua minggu bekerja di sini, sudah berhasil menjadi fotokopi Tania.

Ruangan di lantai dua tempat mereka bekerja selalu ribut. Entah oleh tawa atau suara mereka saat bercerita, atau oleh musik yang mereka putar agar semangat bekerja. Membuatku pusing saja.

Malam ini, energiku rasanya sudah terserap habis padahal acara belum dimulai. Melihat galeri dipenuhi banyak orang membuatku sakit kepala.

"Anyway, thanks, Mbak," ujarku. Kalau bukan karena Rani, mungkin tidak akan ada yang mau datang ke Kemang di Jumat malam, macet, dan hujan seperti ini.

"It's okay. By the way, your intern bagus juga. Followers dia dan teman-temannya banyak yang datang, baguslah buat promosi. Apalagi target lo kan yang kayak geng-nya Azka," celetuk Rani.

Sontak, aku menghela napas panjang.

Seorang Azka saja sudah membuatku pusing dengan sikapnya yang terlalu ceria. Juga pakaiannya yang warna warni itu. Di hari pertama, dia memakai pakaian serba cokelat. Tapi keesokan harinya, juga hari-hari setelahnya, dia tampak sangat mencolok di tengah ARTE yang didominasi warna putih ini.

"What?" Rani menatapku curiga.

"Yeah, she's good. But ... too bright."

Rani tergelak. Dia menyenggol lenganku sambil menatapku geli. "Semua orang juga too bright kalau dibanding lo. Lagian, lo terlalu muram."

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang