39. Azka

6.1K 1.6K 58
                                    

For some people, six months is considered a short time. Some people think it's long enough to get an experience. Six months in @ARTEJkt taught me a lot. Not only about how to run an art gallery but also give me the experience to know more about art. I will cherish all my days here as a big opportunity. But now it's time for me to embark on a new journey. So long, ARTE. You'll always be in my heart.

Azka is signing out!

#lastdayatwork #sad #goodbyeishard

like by ARTEJkt and 9827 others

ARTEJkt: It was a pleasure to have you. Good luck on your new journey and don't forget us.

Miyayami: Kak Azka mau ke mana?

**

Aku mendengkus. Tiba-tiba saja emosi menguasai diriku, padahal Lydia enggak melakukan tindakan sekecil apa pun yang bisa memancing kesal. She's just standing there, looking like a lost puppy with her sad face and puffy eyes.

Kehadirannya saja sudah cukup untuk memancing emosi.

"Mau ngapain lagi, sih, Mbak?" tanyaku. Sumpah, aku enggak bermaksud untuk ketus tapi melihatnya membuatku muak.

Lydia tersenyum. Senyum itu tampak dipaksakan, dan ketika hadir di wajah memelas itu, membuat sosoknya tampak makin ringkih dan minta dikasihani.

Sejujurnya, aku juga kasihan kepadanya. Pasti berat menjalani hidup seperti itu. Aku enggak tahu apa yang dialaminya, hanya sekelebat dari yang dibagi Caleb dan yang kulihat sendiri.

Aku enggak mengenal Galih tapi cukup bisa menilai kalau dia bukan suami yang baik. Kalau dia berani memukul istrinya, pastinya dia enggak pantas menyandang gelar Husband of the Year. Melihat Lydia yang kesulitan menyembunyikan bekas pukulan Galih membuatku ingin mengulurkan tangan untuk membantunya.

Mungkin ini yang dilihat Caleb. He's a nice guy. Tentu enggak mudah membuang muka dari orang yang membutuhkan. Terlebih kalau orang itu pernah menjadi seseorang yang berarti di hidupnya. Sedikit banyak aku bisa memahami alasan Caleb untuk tidak meninggalkan Lydia. Dia berada dalam kondisi rentan, butuh bantuan, bukannya ditinggalkan.

Aku juga mengerti, tidak mudah bagi Lydia untuk keluar dari hubungan yang menyakiti. Selama ini aku sering mendengar kisah serupa, tentang seseorang yang bertahan dalam hubungan menyakiti karena beragam alasan. Kadang masuk akal, kadang sulit diterima akal sehat.

I don't know her reason, kenapa dia enggak mau menolong dirinya sendiri? Kalau dilihat dari segi materi, aku enggak yakin Lydia mengalaminya. Come on, she's a University of Westminster's graduate. Pasti enggak sulit mencari pekerjaan untuk menyambung hidup dengan gelar yang dimilikinya.

Kalau saja posisinya tidak seperti ini, mungkin aku akan bertanya kepadanya. Membantunya, kalau bisa.

Tapi aku enggak bisa, karena hatiku saat ini malah meronta dan seperti diinjak-injak.

Besides, she's pregnant with another man. Seburuk apa pun hubungannya dengan Galih, dia juga berbuat kesalahan. Infidelity is a red flag.

"Aku mau mengambil beberapa barang yang tertinggal di sini." Jawaban Lydia menyentakku.

"Mas Caleb enggak ada."

"I know. Makanya aku datang sekarang, mumpung dia enggak ada." Lydia menunjuk ke lantai atas. "Boleh?"

Aku mengangkat bahu. "Ya sana, emangnya aku siapa ngelarang?"

Alih-alih pergi untuk mengambil barang apa pun itu, Lydia malah bergeming di tempat. Dia menatapku dengan sebaris senyum terkembang di bibirnya. Matanya menatapku lekat-lekat, membuatku merasa jengah karena dipandangi seperti itu.

Akhirnya, aku berbalik dan pura-pura menyibukkan diri menatap lukisan. Dari balik pundak, aku melihat Lydia akhirnya beranjak menuju tangga. Mataku kemudian tertuju ke luar galeri, mencari Avanza hitam milik Galih. Aku ingin berjaga-jaga, siapa tahu dia cari gara-gara lagi. Untunglah aku enggak menemukan mobil itu.

Aku kembali mengitari ruang pameran, tapi sesekali mataku tertuju ke tangga. Ada rasa penasaran yang menggelitik, membuatku harus menahan kaki agar tidak menyusul Lydia. Waktu terasa begitu lama, karena setiap beberapa detik sekali aku mengintip ke arah tangga tapi Lydia masih belum selesai dengan urusannya.

Rasa penasaran mengambil alih. Aku menaiki tangga dan menuju studio. Mumpung orangnya enggak ada, dia enggak akan marah-marah karena aku masuk ke studio tanpa seizinnya.

Langkahku terpaku di pintu saat mendapati Lydia berdiri di tengah ruangan. Dia menatap lukisan yang belum selesai, tapi lukisan itu sangat mencolok. Aku ingat, itu lukisan yang sedang dibuat Caleb di rooftop. Lukisan bunga yang penuh warna, sangat kontras dengan lukisan lainnya yang didominasi warna gelap.

Lydia sepertinya menyadari kehadiranku. "Aku sudah mau pergi," ujarnya.

"Take your time," ujarku asal.

Lydia meraih paper bag cokelat dan membawanya. Aku bersandar ke pintu untuk memberi ruang agar dia bisa lewat, tapi Lydia malah berhenti di depanku. Dia kembali menatapku dengan tatapan yang membuatku jengah.

"Sekarang aku tahu alasan lukisan Raka sudah berwarna lagi," ujarnya.

Aku mengikuti pandangannya yang tertuju ke lukisan bunga di tengah ruangan. Lukisan itu memang mencolok, membuatku ingat kebiasaan Caleb.

Setiap warna yang ditorehkannya berhubungan dengan suasana hatinya. Gelap menunjukkan isi hatinya yang terluka setelah berpisah dengan Lydia.

Sekarang dia membubuhkan warna di lukisannya. Sejenak, aku teringat pengakuan Lydia di depan Caleb, di ruangan ini, beberapa waktu yang lalu.

Apa lukisan itu kembali berwarna, karena Caleb melihat ada masa depan baru bersama Lydia dan kehamilannya?

Seperti ada yang menghantam jantungku, meninggalkan rasa sakit yang menyesakkan.

"Kamu tahu itu bunga apa?" tanya Lydia.

Aku meiiriknya sekilas, berusaha meredam rasa sakit di hatiku. Ucapan Lydia terdengar seperti sedang mengolok, bahwa apa pun bunga yang ada di lukisan itu, melambangkan Caleb dan harapan yang dimilikinya.

Tidak ada aku di harapan itu.

Menyakitkan.

"That flower is Azalea," ujarnya.

Lydia menepuk pundakku pelan sebelum meninggalkanku yang melongo di tengah pintu, tidak bisa mengalihkan tatapan dari lukisan bunga di tengah ruangan.

Lukisan bunga .. azalea.

What does that mean?

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang