The face to perfect my painting, it's your face.
**
Aku tidak bisa mengartikan ekspresi Tania saat ini. Tepatnya setelah aku memberitahu kalau dalam waktu dekat aku harus kembali ke London.
"Why?"
"Personal reason," jawabku.
Tania masih mendesak, tapi aku tidak bisa memberitahu alasan yang sebenarnya.
"I'll go after Saujana ends. Sebelum itu, kita bisa menyusun acara ke depannya dan aku akan mengawasi dari London."
Wajah Tania mulai melunak, meski dia tidak bisa menutupi keterkejutannya. "Okay, it's your choice. But, are you sure?"
Aku sudah mengutarakan banyak alasan tapi tidak ada yang bisa menggoyahkan keputusan orangtuaku. Bisa saja aku tidak mengindahkan keputusan itu, di usia sekarang aku bisa melakukan apa saja.
But I love them. Membuat mereka kecewa adalah hal terakhir yang kuinginkan. Jadi, dengan terpaksa aku menurut. Setidaknya sampai masalah mereda sehingga aku bisa kembali ke Jakarta.
Maybe they're right. I need to take a step away from Lydia.
"By the way, jangan menghilang lagi. Jangan bikin aku senewen."
Aku tertawa mendengarkan gerutuan Tania. Ucapannya membuatku yakin meninggalkan ARTE di tangannya.
"I won't."
Tania mendengkus, lalu tertawa. "You know, it's nice to work with you even though sometimes you are a pain in the ass. But as you know, I need you so bad. Especially after Azka's gone..."
"Wait, Azka?" potongku.
"Kamu lupa? Internship dia sudah selesai."
Ucapan Tania seperti petir yang menyambar. Aku terlalu larut dalam masalah sehingga tidak menyadari kalau masa internship Azka sudah selesai.
Itu artinya dia akan segera berangkat ke London.
London.
Aku menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan senyum di wajahku.
"We'll be having a farewell party tomorrow. Datang, kan?" tanya Tania.
"Di sini?"
"Yup. You're in charge of food," putusnya,
"Oke. Makanan apa?"
Tania memukulku dengan map yang dipegangnya. "Masa urusan memesan makanan pun harus aku yang mikir?"
Sambil menggerutu, dia melenggang keluar dari ruang meeting dan meninggalkanku yang tergelak sendirian.
**
"Buset, ini mau kasih makan orang sekelurahan?"
Celetukan Azka membuatku tertawa. Dia tidak menyadari kehadiranku karena sibuk bercengkrama dengan Tania dan yang lainnya. Sementara aku duduk diam mengamati tingkah mereka.
I'm gonna miss this.
ARTE Jakarta berbeda dengan ARTE di London. Di London, aku mewarisi galeri yang sudah berdiri sejak lama. Aku melanjutkan apa yang sudah dilakukan Walter Carlson, pemilik sebelumnya. Bersama James, aku mengembangkan galeri itu.
This is my baby. I built it from scratch. Ketika harus meninggalkannya di saat aku baru merasakan kebahagiaan bersama ARTE, aku merasa keberatan. Masih banyak hal yang ingin kulakukan di sini.
But maybe I have to take a step back to move forward.
"Mas Caleb yang beliin. Clueless dia kayaknya, makanya beli sebanyak ini," timpal Tania.
Tania berpesan agar aku membeli makanan untuk perpisahan Azka. Dia benar, aku tidak pernah mengalami momen ini sebelumnya, tidak tahu juga tradisi yang sering berlaku di Indonesia seperti apa. Jadi aku memesan pizza, sushi, dan Korean food sekaligus.
Aku juga tidak tahu makanan kesukaan Azka.
Azka melirik sambil memegang sepotong pizza. "Makasih, lho, Mas."
Dia tidak lagi menatapku dengan tatapan permusuhan. Namun, Azka yang tidak menunjukkan emosi seperti ini jauh lebih menohok. Setidaknya, tatapan permusuhan itu menandakan sedikit kepedulian.
Aku bangkit berdiri dan menghampirinya. Azka melirik sekilas, sebelum tertawa.
"Bonyok lagi?" tanyanya.
Pukulan Galih meninggalkan bekas yang lumayan terlihat jelas di wajahku. Azka pasti bisa langsung menyimpulkan sumber memar ini. Dia pernah melihatku dihajar Galih, juga menjadi saksi ketika Galih menghancurkan lukisanku.
Azka menatapku, dan aku menunggunya meledekku. Dalam diam, aku menunggu sampai cemoohan atau gerutuan keluar dari mulutnya.
Tidak terjadi apa-apa. Azka hanya melihatku sekilas sebelum mengambil teopokki dan melahapnya tanpa menghiraukanku.
Aku berdeham. "Ka, about Lydia..."
"Aku enggak dengar," potongnya. "Aku enggak dengar apa-apa malam itu dan sekarang aku enggak mau dengar apa-apa."
"Azka, listen to me..."
"Teopokki-nya enak. Mbak, gue habisin ya." Azka memunggungiku sambil berbicara kepada Tania.
Melihatnya yang menganggapku seolah tidak ada menimbulkan goresan di hatiku. Aku baru menyadari kalau perasaanku sudah berubah. Tidak ada Lydia lagi, digantikan oleh sosok penuh warna yang sangat ribut ini.
But I like it.
"Today is my last day. I want to say thank you for the chance. Aku belajar banyak di sini, dan semoga aja yang ngegantiin aku bisa lebih baik dari aku." Azka mengulurkan tangannya, menungguku membalas jabatan tangan itu.
Aku menatap tangannya yang terulur dengan perasaan berkecamuk. I hate goodbye.
Azka menarik tanganku lalu menjabatnya. "If I can give you any advice, please get rid of that Grumpy Caleb."
Aku tertawa kecil. "Thanks. You too."
"Me? Grumpy? No way," elaknya.
"Just like what I said before, Bright Azka suits you better. Don't forget about that."
Azka tersenyum lebar, membuatku ingin mencium bibir itu.
"Point taken."
Namun Azka telanjur melepaskan jabatan tangannya dan meninggalkanku.
**
Aku menyibak kain penutup lukisan, dan menatap lukisan perempuan tanpa wajah yang belum kuselesaikan. Berbulan-bulan lukisan itu terbengkalai begitu saja karena aku tidak tahu wajah seperti apa yang akan kugoreskan di sana.
Perlahan, aku mengambil kuas. Seketika, tanganku bergerak begitu saja, melukiskan wajah yang sejak awal seharusnya sudah berada di sana. Wajah yang menyempurnakan lukisan tersebut.
Wajah Azka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Paint
RomansaHe speaks with color! Caleb Raka, pelukis yang mengungkapkan isi hati lewat warna. Dia pernah jatuh cinta, tapi terpaksa merelakan perempuan yang dicintainya memilih orang lain. Azalea Karina. They said she lives with golden spoon in her mouth. Namu...