"Life begins at ... once you step out of college and try to find a decent job. For me, it's either working in an art gallery or nothing."
Liked by kevinoliver and 5.456 others
View 589 comments
**
"Hi ... hello!" Aku melambaikan tangan, lalu merasa awkward sendiri dengan tingkahku barusan sehingga kuputuskan untuk menyembunyikan kedua tangan di balik punggung.
Sementara itu, di hadapanku, ada dua orang yang menatapku seolah-olah aku makhluk yang tersasar dari luar angkasa.
Oke, lebay. Aku bukan some creature from the universe--meski sebenarnya aku masih pengin punya teman berupa makhluk extraterrestrial seperti di film ET yang menjadi favoritku. Tapi, kehadiranku yang tiba-tiba sepertinya mengagetkan mereka, membuat apa pun yang sedang mereka bicarakan terhenti begitu saja.
Aku menghela napas panjang, sembari melangkah ke arah tengah ruangan. Aku menyempatkan diri untuk menatap ke sekeliling. Galeri ini tampak sudah siap untuk dibuka, cuma ada beberapa box yang belum dibuka di sudut ruangan dan beberapa lukisan yang belum dipasang di tempatnya.
Galeri ini enggak begitu luas, tapi desain monokrom yang didominasi oleh warna putih dan abu-abu, juga ruangan yang lepas tanpa sekat memberikan kesan lapang. Siapa pun yang menata interior galeri ini tahu cara mengakali tempat yang enggak begitu besar agar terasa luas. Sekalipun ada banyak lukisan dipajang di sini, aku enggak menemukan kesan sesak dan padat seperti halnya yang sering dialami di dalam galeri yang penuh sesaki.
ARTE memang nama baru di Indonesia, tapi aku pernah mengunjungi galeri dengan nama yang sama di London ketika liburan ke sana. It's a small gallery. Small and warm and artsy, itu kesan yang kurasakan ketika tanpa sengaja menemukan galeri itu saat menjelajahi Shoreditch. Aku kembali mengunjungi galeri tersebut ketika liburan ke London tahun berikutnya.
Aku kurang tahu apakah ARTE yang ada di Kemang ini punya hubungan dengan ARTE di Shoreditch.
Mungkin, sosok laki-laki yang menatapku tajam dari tengah galeri, bisa memberitahuku. Aku memberanikan diri untuk menatapnya, dan detik itu aku langsung bergidik. Dia sama sekali enggak mengerikan. He's quite handsome, with sandy brown hair and deep blue eyes. Caranya menataplah yang membuatku ingin mencari tempat bersembunyi, karena dari caranya menatapku, seolah dia ingin memberitahu kalau aku tidak diterima di sini.
Aku berdeham. "Selamat siang. Aku Azalea Karina, panggil aja Azka. Maaf sudah mengganggu. Sebenarnya aku janjian dengan Tania. Dia teman kakakku dan dia bilang galeri ini sedang mencari intern untuk membantu operasional di sini. Kebetulan aku baru lulus kuliah, jadi aku berencana untuk apply sebagai intern di sini. Aku sudah mengirim CV dan Tania bilang aku bisa datang ke sini pukul dua..." Aku melirik jam tangan. "dan aku telat lima belas menit. Damn Jakarta traffic. Ups, sorry, maksudku aku mungkin kelihatan kurang profesional karena telat tapi Tania barusan kasih tahu kalau dia enggak bisa datang jadi aku bisa ketemu langsung dengan Mas Caleb."
Kalau sedang panik, aku bisa ngomong tanpa jeda. Dan sepertinya sekarang aku sedang panik karena aku malah mencerocos panjang lebar barusan.
Sosok laki-laki itu menatapku dengan sebelah alis terangkat. Sementara perempuan di sebelahnya, yang baru kusadari kalau dia adalah seorang aktris terkenal, tertawa kecil.
Dan, aku menyadari kesalahanku yang kedua.
"Sorry, I was blubbering. I don't know if you understand what I said. So, I am Azalea Karina, Azka for short and Tania..."
"I understand what you say," potong si sandy-brown-hair, yang langsung membuatku menarik napas lega. "Tania menyuruhmu datang ke sini?"
Aku mengangguk, meski dalam hati menahan tawa saat mendengar bahasa Indonesia-nya yang terdengar lucu.
"She didn't tell me."
Aku menggigit bibir, menyesali kenapa harus terjadi momen awkward begini.
I want this job. Yes, it's not a fancy job. Kalau kata Tania, 'kerjaan lo cuma satu, kerjain apa aja yang disuruh. Enggak ada job desk yang spesifik.' Sama sekali enggak terdengar menjanjikan.
Tapi, aku ingin bekerja di galeri seni, hitung-hitung menambah bekal sebelum melanjutkan kuliah master. Dari pada enggak ada kerjaan atau cuma hangout dengan teman-temanku, lebih baik aku mencari pekerjaan yang enggak mengikat untuk waktu enam bulan.
Tania memberitahuku soal lowongan di ARTE. Dia baru saja diterima bekerja di sini dua minggu yang lalu. Meski pekerjaan yang ditawarkan enggak punya job desk yang jelas, dan gajinya juga enggak sebanyak uang jajan bulananku, menurutku ini kesempatan yang bagus.
"Galeri itu punya Caleb Raka. I don't know if you know him," kata Tania.
Of course I know him. He's one of the rising stars in contemporary art. Di Indonesia dia mungkin belum punya nama, tapi dia salah satu seniman yang cukup diperhitungkan di London. Plus, ARTE jadi salah satu atraksi menarik di Shoreditch.
Now, I stand in front of him. Sementara orang yang dimaksud malah kelimpungan mencari handphone untuk mengecek pesan Tania.
"Alright, you can interview her. If Tania sends her, I bet she's good." Calista Rani menoleh kepadaku dan tersenyum. Nyaris membuatku pingsan saat ini juga. "Good luck," bisiknya, sebelum berlalu meninggalkanku.
"Oke. We can talk upstairs."
Aku mengikuti Mr. sandy-brown-hair menaiki tangga di sudut ruangan. Keadaan ruangan di lantai dua beda banget dengan lantai satu. Di sini sangat berantakan. Caleb bahkan harus menyingkirkan tumpukan buku dan box berisi kertas-kertas agar ada meja yang kosong dan layak untuk interview.
"Well, this is very unprofessional. I'm sorry for that. I just read Tania's message right now so yeah ... here we are. Seharusnya Tania yang mengurus ini but nevermind. Please sit."
Aku duduk di kursi di hadapannya, hanya dibatasi oleh sebuah meja kecil. Dia menatapku lekat-lekat, membuatku jadi salah tingkah karena ditatap oleh mata biru paling jernih yang pernah kulihat.
"So, Azka?" tanyanya, yang kujawab dengan anggukan. "What do you think about Kahlo?"
Aku sudah mempersiapkan diri untuk interview, tapi enggak pernah menduga akan mendapat pertanyaan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Paint
RomanceHe speaks with color! Caleb Raka, pelukis yang mengungkapkan isi hati lewat warna. Dia pernah jatuh cinta, tapi terpaksa merelakan perempuan yang dicintainya memilih orang lain. Azalea Karina. They said she lives with golden spoon in her mouth. Namu...