As pretty as an Azalea!
**
What am I doing?
Seharusnya aku memarahi Azka karena sudah mengganggu. Dia tiba-tiba saja muncul di rooftop dan membuyarkan konsentrasiku.
Namun, aku malah melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang seharusnya kulakukan. Aku tidak hanya mendengarkannya, tapi juga mendekatinya.
Aku sering merasa risih dengan sikap Azka yang sering melanggar jarak yang sengaja kubuat. Namun sore ini, malah aku sendiri yang melanggar jarak itu.
Kalau saja aku tidak menahan diri, mungkin aku sudah memeluknya.
Or maybe ... kiss her.
Shit.
Dan sekarang, saat menatap lukisan setengah jadi di hadapanku, rasanya ingin mengumpat dengan keras.
Here in my canvas, a blooming Azalea, smiles at me
**
"Mbak."
Mbak Rani mendengung singkat tanpa mengalihkan perhatian dari majalah yang dibacanya.
Sekali lagi, aku memanggilnya. Kali ini dengan nada lebih keras.
Dengan enggan, Mbak Rani mengangkat pandangan dari majalah dan menatapku. Dia duduk di sofa di seberangku, dengan meja kopi memisahkan kami, tapi tatapannya yang menusuk membuatku balas menggeram.
Kata mama, kami persis anjing dan kucing. Tentu saja Mbak Rani lebih cocok jadi kucing, karena sikapnya yang angkuh dan manja itu benar-benar persis seekor kucing.
"Apaan?"
Aku sudah membuka mulut, tapi enggan. Mendadak aku jadi ragu untuk mengutarakan pertanyaan yang sejak tadi membebani pikiranku. Semula aku ingin bertanya soal masalah Azka dan akun gosip itu. Mbak Rani, sebagai seseorang yang sudah lama berurusan dengan dunia entertainment Indonesia, pasti tahu cara menghadapi gosip itu. Beberapa kali dia menjadi subyek yang dibicarakan di sana.
Tapi detik ini, aku merasa itu bukan pilihan yang bijak.
Lebih jauh lagi, kenapa aku jadi ikut kepikiran? Setelah Azka meninggalkanku di rooftop, aku enggak bisa mengenyahkan pikiran dari berita itu. Sekarang masih sebatas gosip, tapi aku cukup belajar dari kakakku kalau gosip, jika dibiarkan akan menjadi bola liar yang siap memakan si subjek.
Dalam hal ini, Azka tengah mempertaruhkan nama baiknya.
Aku menggeram. Aku enggak kenal dengan Kevin tapi aku sudah membencinya. Laki-laki pengecut yang sama sekali enggak pantas jadi idola, tapi entah kenapa dia bisa menjaring ratusan ribu followers padahal kerjanya cuma upload foto yang terlalu dibuat-buat.
"Kenapa, Dek?" Mbak Rani menutup majalah dan perhatiannya tertuju sepenuhnya kepadaku.
"Penasaran soal akun gosip di Instagram. Waktu itu, Mbak lakuin apa biar gosipnya diturunin?"
Kakakku itu tidak langsung menjawab. Dia tersenyum muram, sekalipun sudah lama berlalu tapi kejadian itu masih jadi salah satu momen yang cukup berat baginya. Aku ingat ketika Inge, mantan manajernya, menjual berita soal Mas Arsya ke akun gosip, satu bulan menjelang pernikahan mereka. Mbak Rani jadi bulan-bulanan publik, bahkan sampai sekarang masih saja ada yang membicarakan berita soal Mas Arsya yang anak seorang penipu.
It's not easy for her. Melihat apa yang dijalani Mbak Rani membuatku kepikiran soal Azka. Tentunya tidak akan mudah baginya kalau gosip itu menyebut namanya.
"Lo digosipin apa?"
Aku menggeleng pelan. "Not me."
"Terus?"
Aku menahan diri agar tidak menyebut nama Azka. Sekalipun ini adalah kakakku, aku tidak mau ada orang lain yang mengetahui hubungan gosip itu dan Azka.
Mbak Rani tertawa kecil. "Biarpun udah dibayar, karena udah telanjur kesebar jadi damage control-nya enggak ngefek apa-apa. Makanya sekarang gue lay low begini, biar enggak mengundang berita apa-apa. Capek-capek bayar akun gosip buat beritanya di-take down, tetap aja kesebar."
"Enggak ada cara lain buat bikin mereka tutup mulut?"
Dari seberang meja, Mbak Rani menatapku dengan mata menyipit. Dia enggak menutupi kecurigaannya. Cepat atau lambat, dia akan tahu gosip apa yang kumaksud. Sebagai seseorang yang ada di dunia entertainment, Mbak Rani tentunya enggak pernah ketinggalan gosip apa pun.
"Maria, my publicist, nyaranin buat mencari berita lain yang bisa mengubur berita soal gue."
"You did it?"
Mbak Rani menggeleng. "Hampir, tapi setelah dipikir-pikir gue enggak serendah itu. Gue tahu gimana rasanya jadi punching bag orang-orang, bahkan yang enggak gue kenal. Jadi gue enggak mau orang lain ngerasain yang sama."
Aku terdiam memikirkan ucapan Mbak Rani. Saran yang masuk akal, balas api dengan api. Gosip cukup dibalas dengan gosip lain yang lebih mengejutkan. Azka pasti punya berita yang bisa dia sebarkan, dan membuat perhatian publik teralihkan.
It's a bad idea. Azka pasti akan menolak ide itu. Bisa-bisanya aku kepikiran untuk merugikan orang lain karena ingin Azka tidak terlibat dalam gosip murahan itu.
"Jadi, saran gue, bilangin Azka buat cuekin aja. Perputaran gosip itu cepat banget. Hari ini berita soal si A, besok udah ganti lagi," lanjut Mbak Rani.
"Azka?"
Sambil berlagak tak peduli, Mbak Rani kembali meraih majalah di atas meja. "I heard some gossip. Then you asked me about it. You don't need to mention her name, I know it's about her. Enggak mungkin soal lo, kan?"
Aku tidak membalas. Seharusnya sejak awal aku tidak perlu mengungkit hal ini.
"Do you like her?"
"Who?" Aku balik bertanya.
"Azka."
Aku mengernyit. "Really? Dapat ide dari mana sampai nanya begitu?"
Kakakku itu tertawa pelan, tapi jelas dia sedang mengejekku. Matanya berkilat jail saat menatapku dari balik majalah.
"I know you, Dek. Lo enggak bakalan mau repot mikirin soal gosip itu kalau lo enggak peduli sama dia. Peduli bisa jadi suka."
Aku mendengkus sementara kakakku itu tertawa semakin keras.
"It's good for you. Setelah Lydia, mungkin ini saatnya lo membuka hati lagi. Azka cantik, meski masih muda banget ya. Berapa umurnya?" Mbak Rani menatapku sambil menahan senyum di wajahnya.
Aku bangkit berdiri. Ketika Mbak Rani mengungkit nama Lydia, aku merasa gusar.
Entah apa yang membuatku jadi tidak nyaman. Lydia jelas-jelas sedang dalam keadaan yang memprihatinkan, dan aku berniat membantunya. Namun aku tidak sampai berpikir keras untuk membantunya.
Sementara Azka, dengan gosip yang membelitnya, membuatku enggak henti berpikir sejak kemarin. Seharusnya aku mencari cara untuk menolong Lydia, tapi kenapa aku malah ingin melindungi Azka?
Lydia jauh lebih membutuhkanku ketimbang Azka.
"She's too bright. Not my type," bantahku. Bahkan telingaku sendiri menangkap omong kosong di balik ucapan barusan, sementara tawa Mbak Rani terdengar begitu memekakkan.
"Bukannya too bright. Tapi, too young. She's seven years younger than you, but I think you can handle that."
Aku meninggalkan Mbak Rani, sengaja mengentakkan kaki agar dia tahu aku tidak setuju dengan ucapannya. Persis seperti dulu, setiap kali kalah berdebat dengannya, aku cuma bisa mengentakkan kaki sambil berlari ke kamar dan mengurung diri untuk mengutuk betapa menyebalkannya kakakku itu.
Sore ini, aku ingin mengutuk diriku sendiri karena malah memikirkan lebih jauh soal tuduhan Mbak Rani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Paint
RomanceHe speaks with color! Caleb Raka, pelukis yang mengungkapkan isi hati lewat warna. Dia pernah jatuh cinta, tapi terpaksa merelakan perempuan yang dicintainya memilih orang lain. Azalea Karina. They said she lives with golden spoon in her mouth. Namu...