22. Caleb

6.6K 1.7K 79
                                    

Taking a new stroke means taking a new step in life.

**

Aku membawa Azka kembali ke ARTE. Dia sudah agak tenang, karena tadi dia hampir pingsan ketika aku menemukannya di parkiran, setelah sebelumnya menonjok laki-laki mabuk yang punya niat buruk kepadanya. Aku menyodorkan gelas berisi air, dan dia menenggaknya hingga habis.

"Makasih udah mau jemput. Aku pikir Mas Caleb sudah tidur."

Dia tidak perlu tahu kalau aku sengaja begadang untuk menunggu pesan darinya. Sebut ini firasat, ketika aku meninggalkannya di club, aku yakin Azka akan memintaku menjemputnya. Siapa pun teman yang ada di pesta itu, tidak akan membuatnya bertahan sampai pesta selesai.

Sepertinya pesta itu berjalan buruk.

Teman seperti apa yang dimilikinya? Mantan pacarnya saja sudah menyebalkan, laki-laki tadi juga sama saja. Aku tidak bisa membayangkan seburuk apa sikap teman-temannya yang lain.

She's a nice girl. Semula aku pikir dia cuma cewek manja yang bersenang-senang dengan uang orang tua yang melimpah. Pemikiran itu berubah setelah melihatnya bekerja. Dia pekerja keras, dia tahu apa yang dia mau. Bekerja di bidang seni bukan pilihan yang umum, dan Azka, dengan otaknya yang cerdas, punya masa depan yang cerah di bidang ini.

Seharusnya dia berteman dengan yang sama dengannya–smart and nice girl.

"Aku enggak ganggu Mas Caleb, kan?"

Aku menggeleng. "Pestanya menyenangkan?"

Azka mencibir, membuatku tidak bisa menyembunyikan tawa.

"Seburuk apa pestanya?"

Kali ini, Azka menekuk wajahnya. Perubahan ekspresinya yang mendadak membuatku semakin bertanya-tanya.

"Kayaknya tadi pesta paling kacau yang pernah aku datengin, deh. Seharusnya sejak awal aku enggak usah datang aja," keluhnya.

"Kenapa maksain diri?"

Azka menghela napas panjang. "Aku sudah salah bergaul sejak awal. Aku enggak nyaman sama mereka, tapi tetap maksain karena butuh validasi."

Jawabannya sungguh di luar dugaan.

"Sorry, aku malah curhat. Mas Caleb pasti capek, apalagi dengerin repetanku."

"It's okay. Sepertinya kamu butuh teman ngobrol."

Aku meringis saat mendengar ucapanku sendiri. Belum pernah sekalipun aku menawarkan diri sebagai teman mengobrol. Menurutku, teman mengobrol bukan peran yang tepat untukku. Aku tidak tahu cara berinteraksi dengan orang lain, apalagi mendengarkan cerita yang tidak ada hubungannya denganku.

Malam ini, bisa saja aku meninggalkan Azka. Namun aku malah menawarkan telinga untuk mendengarkan ceritanya.

She needs it.

And ... I like that. Aku suka perasaan ini–perasaan yang memberitahu bahwa seseorang membutuhkanku. Meski hanya sebatas telinga dan teman mengobrol.

"Aku enggak pernah merasa cukup. Selalu ada kurangnya. Aku enggak cukup pintar, jadi selalu di-outshine kakakku, Marthin. Aku enggak punya bakat yang menonjol, meski Brian nyebelin dan malasnya minta ampun, he's a natural born musician. Bakatnya menutupi sikapnya yang lain. Sementara aku? Semuanya biasa saja, enggak ada yang menonjol. Orang bilang aku cantik, tapi enggak ada apa-apanya kalau dibandingkan mama." Azka berkata pelan.

She's pretty. Dia punya mata bulat besar yang selalu bersinar, membuatnya terlihat ceria dan ... hidup.

She has a pretty smile. Aku yakin, senyumnya itu yang membuatnya mempunyai ratusan ribu followers di Instagram.

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang