"I suddenly bumped into this tiny old gallery in Paris. That was the moment I fell in love with art."
Liked by taniamawar and 4985 others
View 927 comments
**
"Demi Tuhan, Mas Caleb. Enggak bikin kaget gitu bisa, kan?"
Jantungku rasanya mau copot. Sementara Caleb sama sekali enggak memasang wajah bersalah. Dia menatapku lurus, dengan rambut awut-awutan dan wajah memelas seperti orang sudah berhari-hari enggak tidur. Facial hair memenuhi wajahnya, membuatnya terlihat makin berantakan. Ditambah dengan kaus lusuh yang dipakainya, membuatnya seperti sedang cosplay menjadi gelandangan.
Aku enggak mempersiapkan diri untuk bertemu siapa pun ketika sampai di ARTE. Ini masih pagi, belum pukul delapan. Hari ini aku nebeng papa, makanya sampai di ARTE pagi banget. Ternyata aku malah bertemu Caleb–dengan tampang berantakan–tengah bengong menatap lukisan.
"Hei, itu punyaku."
Caleb cuma melirik sekilas sebelum mengambil kopi dari tanganku dan meneguknya. "I'll pay later."
Aku mendengkus. "Sudah enggak tidur berapa hari?"
Caleb mengangkat pundak. Setelah pulang dari tempat Anggara, Caleb melancarkan mode MIA. Tepatnya, setelah tiga hari lalu. Kata James, kalau dia sudah menghilang, artinya Caleb sedang enggak bisa diganggu. Dia ada di studio di lantai tiga, tapi enggak ada seorang pun yang mendengar kabarnya. Aku pernah mencoba naik ke lantai tiga, tapi kepergok oleh Tania dan dia menarikku kembali ke lantai dua sambil mewanti-wanti agar enggak mengganggu Caleb. Setidaknya, selama tiga hari ini ARTE dalam keadaan tenang tanpa gerutuan Caleb.
"Anggara gimana?"
"He's still considering it."
"Good."
Mataku terbelalak. Tanggapannya cuma itu? Enggak tahu aja dia gimana susahnya membujuk Anggara selama tiga hari ini.
"Enggak segampang itu sampai dia mau, makanya pas dia bilang mau pertimbangin, itu tuh perkembangan yang bagus. Artinya, dia enggak langsung nolak. Masih ada harapan buat kita. Terus, asal mas tahu aja, Dion dari Wijaya Gallery juga deketin Anggara. Mereka punya penawaran lebih, jadi situasi kita genting banget. Apalagi Anggara masih kesel sama kamu, dia terus ngungkit sampai capek dengerinnya." Aku menggerutu panjang lebar. Pagi ini aku menjadi Grumpy Azka, menggantikan Grumpy Caleb.
Caleb menatapku dengan wajah memelas. "Azka, aku sudah enggak tidur tiga hari. Please spare me with your blabbering."
"My blabbering?" Suaraku melengking. "Geez ... how dare you?"
"Sorry. Thank you too. For handling Anggara."
"Makasih juga sama James, kalau bukan karena dia, mana mau Anggara pertimbangin tawaran kita. He's really really stubborn. I hate him. Tapi ya gimana, untung aja James bisa ngebujuk dan enggak kebawa emosi. Enggak kayak ..."
"Not like me. I know. No need to tell me," potong Caleb.
Aku tertawa kecil, sama sekali enggak bermaksud menyinggungnya. Tapi, aku juga enggak bisa menahan diri.
"So, what are you doing here?"
"Just ... berpikir?"
"Think about what?" Aku ikut berdiri di sampingnya. Kami sama-sama menatap lukisan di dinding.
Itu lukisan Caleb. Lukisan abstrak, dengan warna hitam saling bertumpuk sehingga terlihat rumit.
"What do you think about this one?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Paint
RomanceHe speaks with color! Caleb Raka, pelukis yang mengungkapkan isi hati lewat warna. Dia pernah jatuh cinta, tapi terpaksa merelakan perempuan yang dicintainya memilih orang lain. Azalea Karina. They said she lives with golden spoon in her mouth. Namu...