7. Caleb

6.4K 1.5K 33
                                    

7. Caleb

Life is not black and white. Sometimes it's red, another time it's blue, green, or yellow. But most of the time, my life is pitch black.

**

I've been in love before. Lydia, the one that I loved so much but also broke my heart into pieces.

Aku bertemu dengannya saat masih kuliah di Royal College of Art, sementara Lydia tengah melanjutkan kuliah master di University of Westminster London. Lydia aktif di perkumpulan mahasiswa Indonesia di London, dan mereka mengadakan bazar untuk menyambut tujuh belasan. Aku, yang sudah terlalu lama di London, lumayan merindukan makanan Indonesia. Jadi, aku mengunjungi bazar tersebut. Di sana, aku bertemu Lydia.

Lydia menghampiri saat aku kesulitan memutuskan memesan masakan Sunda atau nasi Padang. Akhirnya dia menemaniku berkeliling dari satu booth ke booth lain, mempromosikan setiap booth seolah-olah dia yang memilikinya. Di akhir pertemuan, Lydia mengundangku ke flat yang disewanya bersama mahasiswa Indonesia lain karena mereka mengadakan barbeque di akhir pekan.

Aku tidak tahu apa yang membuatku tertarik sehingga memenuhi undangan itu. Dia bukan perempuan pertama yang mencuri hatiku. Tapi, Lydia-lah yang benar-benar membuatku jatuh cinta.

Lydia juga yang membuatku menjadi manusia impulsif karena langsung mengajaknya berkencan di pertemuan kedua. Dia menyenangkan, lembut, dan penuh perhatian. Sejak mengenal Lydia, aku baru sadar selama ini kesepian. Terbiasa hidup sendiri menyadarkanku bahwa, sangat menyenangkan jika ada yang memperhatikan.

I'm in love with her. Kami bersama selama tiga tahun. Lydia tetap berada di London setelah lulus kuliah dan bekerja di sana.

Rasanya menyenangkan, memiliki seseorang yang mencintaiku sebesar itu. Bersama Lydia, aku memberanikan diri untuk melangkah lebih jauh.

I proposed to her.

Dia menerimaku.

Keluarganya menolakku.

Alasannya sangat konyol.

"Kamu mau kasih makan anak saya pakai apa? Lukisanmu itu? Selama kamu belum bisa memberikan masa depan yang jelas untuk Lydia, jangan berharap bisa menikahinya." Itu perkataan ayahnya, ketika aku dengan semangat menggebu-gebu, mengutarakan niatku menikahi Lydia.

Ucapan itu sangat mengganggu. Aku berusaha menepis anggapan itu, tapi tidak mudah untuk menaklukkan hati orang tua Lydia.

Lydia tetap bertahan di London, sampai dia tidak punya pilihan lagi selain mengikuti perkataan orang tuanya dan kembali ke Jakarta.

"Kamu bisa pulang ke Jakarta, kan?"

Kembali ke Jakarta merupakan pilihan yang mengerikan. Ucapan ayah Lydia masih mengikutiku, dan itulah yang membuatku ragu untuk pulang ke Jakarta. Aku bisa bertahan dengan lukisanku, juga galeri kecil yang kumiliki di London. Namun di Jakarta? Aku tidak punya apa-apa.

Jadi, aku menolak permintaan Lydia.

She left me a month later.

Tiga bulan setelahnya, Lydia mengabarkan kalau dia menikahi pilihan orang tuanya.

Itu kejadian dua tahun lalu. Dan sampai detik ini, belum ada seorang pun yang menggantikan posisi Lydia di hatiku.

Aku cukup tahu diri untuk tidak lagi mengharapkan Lydia. Namun, ada bagian kecil di hatiku yang berharap Lydia tidak bahagia dengan pernikahannya, dan menyadari kesalahan besar yang diperbuatnya. Terlebih sekarang aku di Jakarta, mengambil risiko besar dengan mendirikan galeri ini. Sekaligus membuktikan kepada ayahnya kalau aku bukanlah seniman tanpa masa depan.

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang