4. Caleb

7.8K 1.7K 39
                                    

I paint what my heart wants me to paint.

**

I'm an artist, not a businessman.

Here's the thing about running an art gallery. I used to think as a businessman too. Believe me, it's a pain in the ass.

ARTE bukan milikku, awalnya. Walter Carlson, profesorku saat kuliah, membuat ARTE karena muak dengan keberadaan galeri seni yang pretentious dan tidak ramah terhadap seniman pemula. Kebanyakan galeri hanya mau mengambil karya dari mereka yang sudah punya nama, sementara ada banyak struggling artist yang kesulitan mendapatkan kesempatan untuk memajang karya mereka.

Aku mengawali karier di ARTE, setelah salah satu lukisanku dipajang di sana. Lukisan yang menurut Carlson, "I can see that you're in love from your painting." Lukisan itu menjadi salah satu main attraction di ARTE, bertahan di tempat paling spesial di galeri itu selama setahun lebih. Aku menolak setiap tawaran yang ingin membeli lukisan itu, karena jutaan pound tidak akan bisa membuatku melepas karya itu.

Not that it was my first painting as a professional painter, it also was my heart.

The Rose was the way I told the world that I loved someone. Later, she broke my heart.

Selama bertahun-tahun, aku setia kepada ARTE. Carlson sempat mendorongku untuk pergi ke galeri lain yang lebih besar. Namun, aku bertahan. Bukan karena utang budi kepada Carlson, tapi karena aku sudah terikat dengan ARTE. Aku merasakan langsung kesempatan yang datang kepadaku lewat ARTE, jadi aku ingin memberikan kesempatan yang sama kepada struggling artist di luar sana.

Ketika Carlson memutuskan untuk pensiun dan pindah ke Edinburgh, dia menyerahkan ARTE kepadaku. "Terserah kamu mau melakukan apa pun untuk ARTE. It's yours now."

Dimulailah hari-hari di mana aku tidak hanya bertanggung jawab terhadap lukisan, tapi juga memastikan galeri itu bisa berjalan dan tidak merugi.

It was hard. Being a businessman is not my forte. I rather sit in my dark studio instead of meeting with people. But I have to do that.

Termasuk ketika memutuskan untuk membawa ARTE ke Jakarta. Sebuah keputusan dengan risiko besar.

Aku menyeret langkah menuruni tangga. Sudah siang. Mataku silau saat matahari menyorot tajam dari jendela di lantai dua. Berbeda dengan studio sekaligus ruang kerjaku di lantai tiga yang gelap karena aku memilih gorden tebal berwarna hitam untuk menghalangi sinar matahari, lantai dua terasa sangat terang.

Juga, sangat terbuka.

Tidak ada Tania. Dia sangat bisa diandalkan, aku beruntung Rani memperkenalkanku kepadanya. Tapi, Tania selalu tidak ada di saat aku membutuhkannya.

Mataku menangkap sosok seorang perempuan berdiri membelakangiku. Dia terlihat sangat formal dengan pakaiannya, membuatku mengutuk penampilanku saat ini. Aku baru bangun tidur, belum sempat mandi karena mendapat email dari bea cukai soal lukisan yang tertahan di sana.

That's why I need Tania.

Sosok itu tidak kukenali. Dia bukan Melissa, karyawan yang baru bekerja di sini dua minggu lalu. Dan pastinya bukan James, temanku di London yang mau ikut ke Jakarta karena butuh tantangan baru dalam hidupnya.

Sosok itu berbalik. Aku langsung berhadapan dengan seorang perempuan yang tersenyum lebar. Dia mengangkat tangan, melambai dengan sangat bersemangat.

"Morning, Mas Caleb."

Suaranya begitu nyaring, membuatku terlonjak karena galeri ini lebih sering hening.

Aku menyipitkan mata untuk mengenali sosok itu.

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang