It's okay. I'm here.
**
"Pulang juga kamu."
"Hai, Mam." Aku mencium pipi mama sebelum mencomot biskuit yang ada di meja. "Papa mana?"
Mama menunjuk ke arah perpustakaan, yang juga berfungsi sebagai ruang kerja papa. Ayahku itu sudah pensiun, tapi pekerja keras masih bertahan di dalam darahnya. Bukannya menikmati masa pensiun dengan santai, ada saja kesibukan yang dilakukannya.
Aku bisa hidup dengan nyaman dan memilih profesi yang–menurut banyak orang, tidak punya masa depan yang menjanjikan–karena hasil kerja keras papa. Teman sekolahku pernah meledek sebagai anak privilege yang bisa bersikap sesuka hati, karena punya beking kuat berupa trust fund dari papa.
Seharusnya sekarang papa menikmati hasil kerja kerasnya selama berpuluh-puluh tahun, tapi sulit untuk meminta papa berhenti bekerja. Mama pernah menyebut rencana untuk ke London, mengingat Mbak Rani sebentar lagi akan pindah ke London mengikuti suaminya. Namun, rencana itu ditunda karena aku telanjur pulang ke Indonesia.
"Bagaimana kabarmu?"
"I'm good. Lagi sibuk menyiapkan pameran pertama untuk Anggara Pandji," sahutku.
"Kata Rani galerimu ramai."
Sebenarnya itu di luar dugaan. Aku sering mendapat peringatan kalau membuka galeri di Jakarta bukan langkah yang bijak. Namun, dari riset pasar yang dilakukan oleh agensi yang kusewa sebelum membuka galeri ini, juga ditemukan fakta akan ketertarikan baru di kalangan anak muda Jakarta. Mereka mulai bosan dengan pilihan hiburan instan dalam bentuk mal. Mereka butuh sesuatu yang baru, juga bisa mendukung proses eksistensi diri.
Seketika aku teringat cerita Azka. Dia butuh validasi dari pihak lain, sekalipun yang memberikannya bukan orang yang dikenal. Validasi itu dibutuhkan untuk eksistensi diri, agar dia merasa cukup.
Setelah mendengar ceritanya, aku teringat hasil riset yang dipresentasikan kepadaku awal tahun lalu. Ada banyak anak muda seperti Azka, yang selalu haus akan sesuatu yang baru dan unik, demi menjaga eksistensi diri mereka.
I can see it first hand. Ada banyak yang datang ke ARTE sehingga galeri itu selalu ramai. Terlebih di akhir pekan, sehingga Tania mengusulkan untuk memindahkan hari libur ke Senin dan Selasa sehingga ARTE tetap beroperasi di weekend.
Di satu sisi aku senang, karena salah satu tujuanku tercapai. Nama ARTE mulai dikenal. Namun di sisi lain aku menyayangkan karena hanya segelintir yang datang ke ARTE untuk menikmati seni dan lukisan. Kebanyakan datang karena ikut terpengaruh hype, bukannya menikmati lukisan yang dipajang, mereka malah menjadikan lukisan sebagai background foto yang kemudian dipajang di Instagram.
Oleh karena itu, aku sangat berharap dengan pameran tunggal Anggara Pandji. Dia boleh saja menyebalkan, tapi karyanya tidak bisa dianggap remeh. Lewat pameran itu, aku yakin para pecinta seni akan berdatangan, dan ARTE bisa berjalan sesuai fungsi seharusnya.
"Mama pikir kamu akan mulai dengan pameranmu sendiri. Kapan terakhir kali kamu menggelar pameran? Mama sudah lupa saking lamanya."
Ucapan mama seperti pisau yang menusukku.
Terakhir kali pameran itu berlangsung sekitar dua tahun lalu. Ketika aku masih bersama Lydia. Setelahnya, aku tidak bisa menghasilkan lukisan yang layak untuk dipajang.
"Belum ada lukisan baru."
Mama menutup majalah yang dibacanya, lalu menatapku tajam. She's still beautiful in her sixties. Keanggunan masa muda masih terlihat meski keriput mulai bermunculan di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Paint
RomanceHe speaks with color! Caleb Raka, pelukis yang mengungkapkan isi hati lewat warna. Dia pernah jatuh cinta, tapi terpaksa merelakan perempuan yang dicintainya memilih orang lain. Azalea Karina. They said she lives with golden spoon in her mouth. Namu...