28. Caleb

6.7K 1.8K 135
                                    

The Inbetween speaks to my heart when I don't know what's really inside my heart.

**

Sekilas, aku mencoba menerka berapa banyak kerugian yang kualami karena kelakuan Galih. Aku melihat The Rose di lantai, dalam keadaan hancur. Tidak jauh, ada Despair yang juga menjadi korban amukannya.

Galih tengah mengambil The Inbetween ketika aku menerjang ke arahnya dan mendorongnya agar menjauh dari lukisanku. Dia terhuyung dan menabrak kolom yang ada di tengah galeri.

"Berengsek," umpatnya.

"Silakan pergi sebelum saya membuat perhitungan karena sudah masuk tanpa izin dan menghancurkan galeri saya," ancamku.

Galih berusaha berdiri, matanya menatap nyalang ke arahku. Dia seperti orang kesetanan yang siap menghabisi siapa saja yang berada di hadapannya.

Laki-laki seperti apa yang dinikahi Lydia?

Ketika Lydia berkata sikap kasar Galih hanya untuk sementara, aku tidak percaya. Apalagi sekarang, melihatnya menghancurkan lukisanku, aku semakin yakin kalau laki-laki ini bermasalah dengan anger management.

"Baru galerimu yang hancur, saya bisa menghancurkanmu sampai enggak bersisa kalau kamu masih mengganggu Lydia," bentaknya.

"Siapa yang mengganggu Lydia?"

Galih menerjangku, tapi aku bergerak lebih cepat sehingga dia hanya memukul angin. Dia menggeram, sebelum berbalik menghadapku.

"Don't you dare to say her name," geramnya.

"Lydia enggak akan meminta pertolongan saya kalau kamu enggak menyakitinya," balasku.

Galih kembali menyerangku, kali ini dia lebih cepat sehingga aku enggak sempat menghindar. Galih mendorongku hingga terjajar ke dinding. Emosi begitu menguasainya ketika dia memukulku. Aku berusaha berkelit, membuat tinjunya mendarat di dinding di sampingku. Galih mengumpat, lalu mendorongku hingga terjerembab. Tinjunya mendarat di tubuhku, memukuliku tanpa ampun.

"Fuck you," umpatku. Cukup sekali saja dia menjadikanku sasaran amarahnya.

Aku menangkis kepalan tangannya, lalu mendorongnya hingga terjatuh. Kesempatan itu kumanfaatkan itu untuk menguncinya di lantai. Tanganku mengepal, siap untuk menghantamnya tapi aku mengurungkan niat di detik-detik terakhir.

I'm better than him.

Jadi, aku melepaskannya.

"Suami seperti apa yang berani memukuli istrinya?" hardikku.

Galih menggeram. Dia mencoba bangkit, tapi aku telanjur menahannya.

"Saya enggak ada urusan dengan Lydia. She's your wife. She was my ex." Aku berkata tegas. "Ini peringatan terakhir, karena saya enggak akan melepaskanmu kalau mengacau lagi di sini."

Dengan sekuat tenaga, Galih melepaskan dirinya lalu mendorongku. Tenaganya yang tiba-tiba membuatku cukup limbung sampai terhuyung. Galih bangkit berdiri dengan napas terengah-engah.

Galih kembali mengumpat dan mengancamku agar menjauhi Lydia, sebelum dia keluar dari galeri.

Sepeninggal Galih, aku pun memperhatikan sekeliling untuk mengecek kekacauan yang ditinggalkan Galih.

"Shit," gerutuku.

Aku menghabiskan puluhan jam untuk menyelesaikan satu lukisan, dan sekarang lukisan itu hancur berantakan. Mataku tertumbuk kepada The Rose. Lukisan itu sangat berarti untukku, dan melihat lukisan itu sudah tidak bisa diselamatkan membuatku melayangkan tinju ke dinding untuk melampiaskan emosi.

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang