15. Caleb

5.7K 1.5K 54
                                    

The fact that I need to put a color in my life, it's terrifying

**

This is very embarrassing.

Semuanya terjadi dengan sangat cepat. Aku sedang berbicara dengan Lydia, ketika tiba-tiba saja sebuah tinju melayang ke wajahku, membuatku tersungkur dari kursi. Aku tidak punya waktu untuk menguasai diri, alih-alih mencerna apa yang sebenarnya terjadi, ketika tinju berkali-kali menghantamku.

Selanjutnya, yang kudengar hanyalah teriakan panik orang-orang di sekitar dan tangisan Lydia menyuruh Galih berhenti menghajarku.

Ketika nama Galih memasuki pendengaranku, perlahan aku mulai mencerna apa yang terjadi.

Aku masih meringkuk di lantai, membiarkan tubuhku menjadi sasaran amukan laki-laki yang belum pernah bertemu denganku itu. Juga sumpah serapah yang keluar dari mulutnya–dalam bahasa Jawa yang tidak kumengerti.

Galih. Aku mengenal nama itu ketika Lydia memberitahu soal pernikahannya. Aku tidak mencari tahu siapa dia. Seperti apa dia. Apakah dia bisa menjaga Lydia? Apakah dia cukup layak bersanding dengan Lydia?

Satu-satunya yang kutahu, dia laki-laki pilihan orangtua Lydia.

Sekarang, dia menghajarku tanpa ampun.

Bukannya aku tidak mau melawan. Galih tidak memberi kesempatan. Dia begitu murka, membuat pukulannya terasa lebih sakit.

Aku sangat membenci kekerasan, jadi yang bisa kulakukan hanya menerima pukulan. Ternyata, sikapku yang pasif membuat Galih semakin menjadi-jadi.

Entah apa yang membuat Galih berhenti. Mungkin intervensi satpam atau pemilik cafe. Telingaku masih menangkap isak tangis Lydia–meminta Galih berhenti sekaligus meminta maaf kepadaku.

"Mas Caleb."

Selama sedetik, aku menajamkan pendengaran. Cuma ada satu orang yang memanggilku dengan sebutan itu.

Azka?

Apa yang dilakukannya di sini?

Dengan susah payah, aku membuka mata. Tatapanku langsung tertuju ke wajah cemas milik Azka.

This is very embarrassing. Jauh lebih memalukan ketimbang saat Galih menghajarku. Dengan posisi terkapar di lantai, tidak melakukan apa-apa untuk membela diri, posisiku benar-benar memalukan.

Azka menyaksikannya.

Dia bangkit berdiri dan berbicara dengan seseorang. Mungkin si pemilik cafe, karena nada suara lawan bicaranya itu terdengar tidak suka. Aku mencoba untuk duduk, dan dari sudut mata aku melihat Lydia diseret paksa oleh Galih. Dia menoleh, bersitatap denganku, dengan wajah menunjukkan perasaan bersalah sekaligus memohon.

Apa dia ingin aku menolongnya?

There's something wrong with Galih. Melihat sikap kasarnya barusan, teka teki yang memenuhi benakku, mulai menampakkan jawaban.

Lydia tidak bahagia dengan pernikahannya, dan penyebabya adalah Galih.

Aku refleks tertawa. Hidup memang sebuah lelucon. Lydia memutuskan untuk berbakti kepada orang tuanya, dan lihat apa yang harus ditanggungnya.

"We should go. Yang punya cafe udah mengusir."

Perhatianku kembali teralih kepada Azka. Dia cukup kesulitan saat mencoba membantuku berdir, mengingat tubuhku yang jauh lebih besar. Ditambah dengan bekas pukulan Galih membuat gerakan sekecil apa pun memberikan rasa sakit di sekujur tubuhku.

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang