26. Caleb

7K 1.7K 161
                                    

Love is not supposed to hurt.

**

Aku membawa Lydia ke studio karena hanya itu satu-satunya tempat yang terpikir olehku. Dia masih menangis, dan aku membiarkannya menangis sambil terus memeluknya. Aku baru melepaskannya ketika Lydia mulai bisa menguasai diri.

Sepanjang sisa pagi itu, aku mendengarkan cerita Lydia. Tentang pernikahannya dan Galih.

"Awalnya enggak begini, sampai sekitar enam bulan lalu. Bisnisnya sedang goyah dan emosinya jadi kurang stabil. Dia mulai sering marah-marah, sampai memukulku. Tapi dia langsung menyesal. Dia minta maaf dan aku pikir dia benar-benar menyesal. Galih kembali bersikap manis, seperti dulu." Lydia berusaha bercerita di balik isak tangisnya.

Sementara itu, aku duduk gelisah di hadapannya. Aku tahu ini bukan tindakan yang bijak. Tidak seharusnya aku bersama Lydia. Tapi aku juga enggak mungkin meninggalkannya.

Dia butuh teman. Mungkin aku bisa menjadi temannya.

"Galih kembali memukulku sejak dua bulan terakhir. Setiap hari, ada aja yang bikin dia marah. Aku kayak hidup di neraka. Setiap hari, aku selalu ketakutan kalau Galih akan mengamuk." Lydia mengusap air matanya.

"Kamu butuh pertolongan."

Lydia mengangkat wajah, dia menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. "Cuma kamu satu-satunya yang bisa membantuku."

Aku menggeleng. Ucapan Lydia membuatku merasa terbebani. Aku tidak bisa membantunya, aku tidak punya hak apa-apa untuk membantunya.

"Orang tuamu bisa membantu."

Lydia tertawa sinis. "Mereka yang menjerumuskanku ke neraka ini, gimana caranya mereka bisa membantu?"

"Kamu sudah bicara dengan mereka?"

Lydia bangkit berdiri menuju jendela. Dia menyibak gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam studio. Tangannya mengepal saat menggenggam gorden, menunjukkan emosi yang menguasai dirinya.

"Di mata mereka, Galih adalah sosok yang sempurna. Makanya mereka menikahkanku dengan Galih. Bagi mereka, Galih enggak pernah salah."

Aku tidak tahu banyak tentang Galih. Kecuali tentang bisnis ekspor impor yang dijalaninya cukup menjanjikan, dan membuat orang tua Lydia membandingkan Galih denganku.

"Kamu bisa menjual berapa lukisan setiap bulan? Kalau enggak ada yang terjual, kamu mau ngasih makan Lydia apa?" Itu hinaan orang tuanya, ketika menolakku dua tahun lalu. "Galih bisa menjamin kehidupan Lydia, tidak seperti kamu yang malah menumpang hidup sama Lydia."

Hinaan itu masih terngiang di benakku, seolah baru kemarin mereka melemparkannya di hadapanku. Tidak ada yang tahu soal hinaan itu, bahkan Lydia. Hinaan itu sempat membuatku terpuruk, tapi juga melecut semangatku karena aku ingin membuktikan kepada orang tua Lydia, juga kepada pihak yang meragukanku, kalau lukisan bisa menjamin masa depanku.

Galih mungkin bisa menjanjikan stabilitas kepada Lydia sehingga orang tuanya tergiur. Namun sepertinya mereka lupa mengecek apakah Galih bisa memperlakukan Lydia dengan baik? Karena buktinya, Galih malah membuat Lydia menderita.

Lydia memutar tubuhnya hingga berhadapan denganku. Wajahnya sembab karena menangis. Sepanjang mengenalnya, aku tidak pernah melihat Lydia putus asa seperti ini.

"I'm sorry, sudah membawamu ke dalam masalahku. Aku enggak tahu harus minta tolong ke siapa lagi," ujarnya lirih.

"I can't help you," timpalku.

Lydia memberikanku senyum lemah. "Just being my friend. Aku cuma butuh kamu karena aku enggak mau sendiri."

"Ya..."

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang