23. Azka

6K 1.6K 49
                                    

Sometimes I'm wondering, what is the definition of a friend? #chooseyourfriendwisely

#randomthough #justthinking

Liked by calistarani and 7356 others

view 983 comments

**

Curhat kepada Caleb sama sekali enggak ada dalam bayanganku. Mungkin karena emosi yang membuatku kalut, jadi enggak bisa menahan diri selain bercerita kepadanya.

Ternyata dia cukup menyenangkan sebagai teman curhat. Caleb enggak memotong ceritaku, dia tahu ada banyak yang ingin kusampaikan sehingga memberiku kesempatan untuk bicara sebanyak-banyaknya. Padahal dia sendiri yang bilang kalau aku terlalu sering ngomong, tapi malam ini dia sama sekali enggak keberatan.

Caleb enggak menyembunyikan reaksinya. Aku bisa merasakan dia ikut emosi ketika mendengar soal Kevin dan Ririe. Dia memang enggak berkomentar, tapi sikapnya cukup menenangkan. Juga membuatku lega, karena aku tahu ada yang mendukungku.

Banyak yang menjatuhkanku, tapi di sini, di depanku, ada yang mendukung dengan tulus.

Dia bahkan menawarkan bantuan. Gestur menyenangkan yang langsung menyentuh hatiku.

Caleb berdeham. "Sudah malam, kamu mau tidur di sini? Kamu enggak mungkin menginap di tempat temanmu, kan?"

Dia benar, malam ini aku enggak punya tempat untuk dituju. Aku enggak mungkin pulang ke apartemen Becca–not in million years aku mau berurusan dengan mereka lagi.

Pulang ke rumah juga enggak mungkin, bisa-bisa aku dimarahi papa.

Satu-satunya pilihan yang kupunya adalah menginap di sini.

"Aku boleh menginap di sini?"

Caleb memberikan anggukan singkat.

"Artinya, kamu ngizinin aku masuk ke studio dan melihat lukisanmu," ujarku, sambil mendongak menatapnya.

Caleb tertawa kecil. Dia mengajakku menaiki tangga menuju studio yang juga berfungsi sebagai kamar pribadinya. "Kamu sudah telanjur melihatnya."

"Sorry."

Mataku memindai keadaan studio. Cukup rapi, sangat berbeda dengan keadaan ketika aku mengunjungi studio ini beberapa hari lalu.

Caleb menuju lemari dan mengambil selembar pakaian. Dia menyerahkan kaus itu kepadaku.

Selama beberapa saat, aku terpaku di tempat. Ada desir halus di hatiku ketika mataku tertumbuk menatap kaus yang disodorkannya.

Kepedulian di balik gestur sederhana ini tanpa sadar membuat hatiku menghangat.

Aku menerima kaus itu dan membawanya ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Aku mematut bayangan di cermin. Kaus yang diberikan Caleb cukup besar, sehingga aku tidak perlu memakai celana karena kaus itu mencapai lututku. Sambil melipat pakaianku, aku kembali ke studio.

Caleb sedang duduk di depan kanvas ketika aku kembali ke studio. Kanvas itu masih kosong.

"Kamu mau melukis?"

"Still trying." Caleb menunjuk tempat kosong di sisinya. "Kamu pernah melukis?"

Aku mengangguk seraya menempati kursi kosong di sampingnya. "Hasilnya jelek. Aku sama sekali enggak berbakat."

"Dalam melukis, aku ingin hasil yang sempurna. Setiap selesai, selalu ada yang terasa kurang. Selalu ada dorongan untuk menyempurnakannya, padahal tindakan itu sama sekali enggak membantu. Yang ada, lukisan itu jadi berantakan, keluar jauh dari yang seharusnya. Lewat melukis, aku mengenal kata cukup. Enggak ada yang sempurna, tapi ketika kita bisa menerima kata cukup, semuanya terlihat sempurna," ujarnya.

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang