18. Caleb

6.3K 1.5K 125
                                    

I fall in love with the color but love put colors away from my life

**

Shit. I never allow anyone to see my work before I finish it.

Lukisan ini masih jauh dari kata selesai, meski aku enggak tahu apa yang harus ditambahkan.

Mungkin, aku harus melukiskan wajah seseorang di sana.

Ketika mulai melukis, aku membiarkan tangan mengambil alih. Tanganku sudah terbiasa mewujudkan apa yang ada di benakku. Namun kali ini, benakku tidak menunjukkan wujud yang jelas. Hanya goresan warna yang saling tabrak. Juga, sosok perempuan yang tidak kukenali.

Semula aku pikir akan melukis Lydia. Aku sudah siap membuang kanvas itu tapi urung ketika sosok yang ada di sana bukanlah Lydia. Dia sering menjadi objek lukisanku–ada masa dia menjadi muse utama, sehingga aku tidak bisa melahirkan lukisan lain selain Lydia.

Perempuan ini bukan Lydia, meski dia belum memiliki wajah.

I just know she's not Lydia.

But I don't know who.

Ketidaktahuan itu membuatku jadi mudah tersulut emosi. Aku ingin segera menyelesaikan lukisan ini, tapi aku sendiri tidak bisa mencerna siapa perempuan yang memenuhi benakku saat ini.

Seakan ingin meledek, perempuan tanpa wajah itu terus menghantuiku.

Aku tidak ingin ada yang melihatnya, lalu bertanya karena aku tidak punya jawaban.

Who is she? Why do you paint her?

I don't fucking now.

But Azka already sees it.

Aku tidak bermaksud bersikap kasar kepada Azka. Apalagi dia yang menolongku ketika dipukul Galih.

I just can't help myself. She's been in the wrong place at the wrong time.

Aku sedang stuck di depan lukisan tanpa wajah ini ketika Lydia menelepon. Dia ingin bertemu. Sebuah lelucon yang sangat tidak lucu, sampai-sampai aku harus mengingatkan apa yang diperbuat suaminya kepadaku. Lydia meminta maaf, membuat kepalaku ingin meledak. Aku memutus telepon, berharap bisa menemukan ketenangan.

Lalu, aku mendapati Azka di studio. Melihat lukisan yang belum jadi. Ketika mendengar dia meracau tanpa henti, kepalaku benar-benar ingin meledak.

I snapped out.

It's not fair.

Aku berutang permintaan maaf kepadanya. Dengan langkah berat, aku beranjak dari studio untuk mencari Azka.

Saat membuka pintu, aku refleks mengumpat.

Lydia's here. Right in front of me.

Aku menggeram, tanganku mencengkeram daun pintu erat-erat sementara Lydia menatapku dengan ekspresi bersalah di wajahnya.

"Kamu mau apa lagi?" tanyaku. Suaraku terdengar keras, dan aku tidak menyesalinya.

"Aku mau minta maaf, Raka."

"Kenapa?"

Lydia menghela napas panjang. DIa bergerak gelisah di depanku, menatap ke sembarang arah, berusaha menghindari tatapanku.

"Galih," bisiknya. "Aku enggak menyangka dia akan memukulmu."

Selama beberapa saat, aku menatap Lydia. Aku berusaha membaca apa yang disembunyikannya.

Lydia mungkin tidak ingin menyembunyikan apa-apa, karena wajahnya memperlihatkan dengan jelas apa yang dirasakannya. Selain perasaan bersalah, dia juga menampakkan kesedihan.

Juga, permintaan tolong.

Aku memang tidak mengenal Galih, tapi dia berani memukulku di tempat umum. Apa yang berani dia lakukan kepada Lydia di saat tidak ada orang lain di sekitar mereka?

"He hurts you." Sebuah pernyataan.

Lydia menunduk. "Dia ... cuma salah paham. Karena itu aku minta maaf, atas nama Galih."

Ucapannya terdengar lirih, seakan ada yang memaksanya untuk mengucapkan pembelaan itu.

"Galih enggak menyakitiku. Itu cuma salah paham," lanjutnya.

Aku tertawa tipis. "Kamu enggak akan memberi penjelasan seperti itu, kalau dia enggak menyakitimu."

Lydia makin gelisah, dia mengusap kedua tangannya dan berkali-kali menarik napas berat.

"Kamu ingat apa yang aku bilang ketika kita putus?" tanyaku.

Untuk kali pertama sejak kedatangannya, Lydia membalas tatapanku.

"I want you to be happy even if it's not me who makes you happy. Are you happy now?"

Ketika Lydia memutuskanku, aku masih mencintainya. Aku berusaha menerima kenyataan bahwa bukan aku yang bisa membuatnya bahagia. Siapa pun pilihan orang tuanya, aku harap dia bisa membahagiakan Lydia.

"Kamu berjanji untuk bahagia. Pemikiran itu yang membuatku bisa merelakanmu. Sekarang, kamu datang dengan keadaan seperti ini, di saat aku sudah bisa menerima kenyataan. Apa tujuanmu bertemu denganku?" tanyaku.

"I want you," bisiknya.

"You want me?" Aku tertawa–menertawakan nasibku yang sangat lucu. "Sebagai apa? Samsak tinju suamimu?"

Lydia menggeleng. "Aku butuh teman, Raka. Aku ... Galih ..."

Aku menatapnya lekat-lekat, menunggu Lydia menyelesaikan ucapannya. Namun dia malah menggeleng, tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.

"Apa alasanmu membuka ARTE? Kamu pernah bilang enggak akan pernah pulang ke Jakarta," ujarnya.

Mataku menyipit saat menatapnya. "Kamu sudah dengar alasanku. Beritanya ada di mana-mana."

"Kamu ingin membantu aspiring artist di Indonesia dan memberikan wadah untuk mereka berkembang." Lydia menggeleng. "Bukan alasan basa basi seperti itu."

"Kamu pikir, alasanku membuka galeri ini karena kamu?"

Lydia mengangguk pelan. "Kamu pernah berjanji enggak akan kembali ke Jakarta. Ketika aku tahu soal galeri ini, aku berharap kepulanganmu ada hubungannya denganku."

"Kamu pikir aku membuka galeri ini untuk membuktikan orang tuamu salah, dan merebutmu dari suamimu?" Aku tertawa pelan. "I'm not that stupid."

"I know but there's a tiny hope in my heart."

Dia jelas tidak akan berharap seperti itu jika pernikahannya bahagia. Galih bukanlah pria yang memperlakukannya dengan baik. Apa pun rahasia yang disimpannya, aku bisa menduga pernikahannya tidak baik-baik saja.

"Do you still love me, Raka?" Lydia menatapku penuh harap.

"Jawaban apa yang kamu ingin dengar?" Aku balas bertanya.

"Because I still love you."

Shit. I don't want to hear that.

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang