10. Caleb

6.5K 1.5K 29
                                    

Canvas should not be white

**

Aku tidak ingin mengingat Lydia, tapi namanya tercetus begitu saja. Kalau Lydia berada di posisiku, kejadian ini tidak akan terjadi. Dia bisa melobi dengan baik, dan Anggara tidak punya waktu untuk mempertontonkan kesombongannya itu. Dia akan bertekuk lutut di depan Lydia dan menerima penawaran yang diberikan Lydia.

"Lydia?"

Aku melirik Azka yang sedang menyetir, lalu membuang pandangan ke luar jendela. Jalanan ini cukup kecil, kadang Azka harus berhenti kalau ada mobil dari arah berlawanan. Tadi, aku menawarkan diri untuk menyetir tapi melihat kondisi jalanan menuju studio Anggara di daerah Ciledug yang ramai, juga jalanan yang sempit, membuatku mundur.

"Yang kemarin, ya? Pacarmu?"

Aku masih membiarkan pertanyaan itu tanpa jawaban. Dengan sengaja, aku mengalihkan perhatian ke luar jendela. Di luar sangat panas, juga ramai dengan motor yang tidak mengenal aturan lalu lintas dan bersikap sesuka hati.

"Atau mantan pacar?"

Sebulan bekerja dengannya, aku cukup paham dengan sikap Azka. Dia tidak akan pernah berhenti bicara.

"Mas Caleb."

Aku mendengkus. "Ya."

"Ya, maksudnya pacar atau mantan pacar?"

"Bukan urusanmu."

Azka terkikik. "Mantan pacar kalau gitu."

"Sok tahu," gumamku.

"Kalau pacar, kamu bakal excited. Nah, buktinya kamu uring-uringan. Artinya dia mantan pacar. Aku benar, kan?"

Aku tidak menjawab, kubiarkan saja Azka mencerocos tanpa henti. Percuma membalasnya karena dia akan terus bicara. Membuatku semakin pusing saja.

"Jadi, kamu bukan tipe yang mau kerja dengan mantan pacar?"

Aku meliriknya. "Kamu bisa bekerja dengan mantan pacar?"

Dia mengangkat bahu. "I don't think so. Apalagi kalau mantan pacarnya nyebelin."

Lydia sama sekali tidak menyebalkan. Kalau saja nasib baik berpihak kepada kami, mungkin sampai saat ini dia masih menjadi pacarku. Atau sudah menjadi istriku. Tidak pernah menjadi seorang mantan.

"Watch out," seruku, ketika sebuah motor tiba-tiba saja memotong dari sisi kanan. Motor itu hampir menyenggol mobil Azka, tapi si pengendara malah menatap kami seolah kami yang salah. "What the hell?"

Azka tergelak. "Welcome to Jakarta. Belum ketemu aja ibu-ibu yang mau belok kiri tapi ngasih lampu sen kanan."

Aku menatapnya dengan dahi berkerut, membuat tawa Azka semakin menjadi-jadi.

"Jadi, Anggara gimana? Sayang banget, lho, Mas kalau dilepas. Iya, sih, dia sengak, tapi lagi naik daun."

Aku berdeham. "Azka, please pakai kata-kata yang bisa kumengerti."

Sekalipun lama tinggal di London, orang tuaku tetap berbicara dengan bahasa Indonesia, sehingga aku cukup percaya diri dengan kemampuan bahasa Indonesiaku. Namun, aku kesulitan kalau ada kata-kata percakapan yang sulit dipahami.

"Maksudku, Anggara memang sombong. Tapi, dia salah satu pelukis berbakat. Pasti banyak yang mau membuat pameran lukisan dia. Kita enggak mungkin melepasnya, kan?"

Aku mengangguk. Terlepas dari sikapnya yang sombong, Anggara punya potensi menjadi lebih besar.

Ini bukan kali pertama aku bertemu dengan sosok seperti itu. Dulu, aku juga seperti dia. Kami, para seniman, mempunyai dunia sendiri. Tidak semua orang bisa memahami dunia tersebut.

Terlebih, jika bicara soal karya. Tidak mengherankan jika para seniman menjadi overprotective untuk setiap karyanya. Kami menghabiskan waktu berhari-hari untuk melahirkan sebuah karya. Bertarung dengan rasa malas dan ide yang buntu, harus selalu mengasah kreativitas. Selalu berusaha menghasilkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang fresh, otentik, dan juga dari hati.

Butuh waktu lama sampai akhirnya mau menerima pinangan ARTE. Meski awalnya sempat ragu, itu menjadi keputusan terbaik yang kuambil. Akhirnya aku menyadari kalau di dunia ini, aku tidak bisa sendiri.

Itulah yang kulakukan sekarang, memberi kesempatan kepada seniman baru untuk berkembang.

"You're right, I'm bad with others." Aku mengakui kebenaran di balik ucapan Azka.

Rani sering menyinggung soal sikapku ini. Menurutnya, aku terlalu menutup diri sehingga akhirnya sulit untuk bisa berbaur dengan orang lain. It's hard to talk with others. Aku harus memikirkan semua kata-kataku, jangan sampai menyinggung orang lain. Aku butuh waktu untuk merangkai kata-kata yang pas, dan ternyata itu pun menimbulkan kesalahpahaman.

Karena itu, lama-lama berhadapan dengan orang lain membuatku sakit kepala.

Kecuali Lydia. Aku tidak tahu magnet apa yang dimilikinya sehingga aku melakukan hal yang berkebalikan dengan kebiasaanku. Aku selalu mencari cara untuk bisa bertemu dengannya.

Aku menggeleng, mengusir bayangan Lydia dari benakku.

"What should we do?"

Pertanyaan Azka mengembalikanku ke masalah yang ada di hadapanku saat ini. Tidak ada waktu untuk memikirkan Lydia.

"Well, we agree that we need him to be in our pilot project. Do you think you can make him change his mind?" tanyaku.

"Aku udah ninggalin kartu nama dan proposal tadi. Nanti, aku akan follow up."

"Apa dia tidak merasa didesak?"

"It's worth a try, right? Aku enggak tahu dia gimana, jadi apa pun bisa dicoba. Yang pasti, enggak bisa hadapi dia dengan sikap keras juga, yang ada malah berantem. Kayak tadi." Azka tersenyum sambil melirikku. "Nanti aku ajak James aja buat ketemu dia. James kan ramah, bisalah dia peres-peres dikit sama Anggara."

Aku memutar bola mata menanggapi sindiran Azka.

"But you should learn how to communicate. Setidaknya kalau ketemu orang, please get rid of that Grumpy Caleb."

"I'm not grumpy."

Giliran Azka yang memutar bola matanya.

"I'm just ... I don't want to deal with people."

Azka tertawa kecil. "Omongan Mas Caleb buat Anggara tadi juga bisa berbalik, lho. Enggak mungkin, kan, Mas Caleb enggak butuh orang lain? Enggak usah soal kerjaan, dalam hal kecil sehari-hari aja, kita butuh orang lain."

Aku bergerak gelisah, merasa terjebak dengan seatbelt yang membelit tubuhku. Ucapan Azka terasa menusuk, membuatku tidak nyaman.

Sebab, ucapan itu mengandung kebenaran yang tidak ingin lagi untuk kupercayai. Aku pernah membutuhkan seseorang, Lydia, dan di saat aku benar-benar membutuhkannya, dia meninggalkanku. Pada akhirnya, yang kumiliki hanya diriku sendiri.

I realize that at the end of the day I don't need anyone else.

"Can I ask you something?"

Aku menatapnya, menunggu dengan penuh antisipasi atas pertanyaan yang ingin diajukannya.

"Aku pernah baca interview Mas Caleb. You speak with color. Kalau pengin tahu isi hatimu, tinggal lihat aja lukisanmu."

"And the point is..."

Azka menghentikan mobil ketika lampu lalu lintas menyala merah, dan menoleh ke arahku.

"Kenapa akhir-akhir ini lukisanmu selalu berwarna gelap?"

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang