If you want to move on, let go of your past.
**
Lydia memintaku untuk menjemputnya. Dia memohon sampai-sampai aku tidak punya alasan untuk menolak.
Stupid me.
Azka pasti akan menertawakan kebodohanku ini.
Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di rumah Lydia. Dia punya rumah yang cukup besar, dengan halaman yang nyaman di daerah Cilandak. Lydia pernah memberitahu soal keinginannya memiliki rumah dengan halaman yang luas, sehingga dia bisa bermain dengan anjing peliharaannya, juga anak-anaknya kelak.
Sepertinya Galih bisa mewujudkan impian Lydia.
Untuk satu hal itu, aku harus mengakui kalau Galih berada di atasku. Sampai saat ini aku masih tinggal di flat yang juga berfungsi sebagai studio di Shoreditch, tidak begitu jauh dari ARTE. Aku belum kepikiran untuk mempunyai rumah karena bagiku, flat itu sudah cukup.
Dulu, aku sempat memikirkan untuk memiliki rumah dengan halaman luas, seperti keinginan Lydia.
Aku mendorong pagar perlahan, menimbulkan bunyi derit yang cukup keras di tengah siang yang hening ini. Mataku menatap ke arah rumah, berusaha mencari sosok Lydia.
Juga Galih.
Detik ini, aku mengutuk kebodohanku.
What am I doing here? Di rumah Lydia?
Seharusnya aku mencari tempat lain lalu meminta Lydia menemuiku di sana. Atau seharusnya aku enggak usah datang sejak awal.
Aku masih mempertimbangkan keinginan untuk pergi ketika pintu dibuka dan Lydia menghambur keluar. Dia berlari melintasi halaman dan menghampiriku. Saat dia sudah berada di depanku, aku melihat sisa air mata di wajahnya.
Juga semburat biru di sudut bibirnya.
"Bawa aku pergi dari sini, please?"
Aku bergeming di tempat, menatap Lydia dengan penuh pertanyaan. Mataku menelitinya, mengecek setiap luka yang ada di tubuhnya. Selain semburat biru di sudut bibirnya, tidak ada luka lain yang terlihat. Namun, dari ekspresi kesakitan di wajahnya, aku yakin ada banyak luka lainnya sebagai akibat dari perlakuan kasar Galih.
"Raka, please?" Lydia masih menatapku dengan penuh pengharapan.
Aku tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan. Mengikuti permintaan Lydia sama saja dengan mencari masalah baru dengan Galih. Dia pastinya tidak akan tinggal diam kalau tahu aku membawa pergi Lydia.
Namun aku juga tidak bisa membiarkan Lydia sendirian. Bagaimana kalau yang ada di depanku bukan Lydia. Mungkin Mbak Rani atau Azka? Apa aku tega meninggalkannya sendiri?
Jawabannya tentu saja tidak.
This is what human should do. Jadi, aku meraih tangan Lydia dan membawanya menjauh dari rumah itu.
**
Aku membawa Lydia ke ARTE karena tidak ada tempat lain. Aku enggak mungkin membawanya ke rumah–keluargaku tidak akan menerimanya, apa pun alasan yang kuberikan.
"Makasih, Raka."
Aku memberikan segelas air kepadanya. Dengan tangan gemetar, Lydia menerimanya. Sementara itu, aku terus memutar otak memikirkan tindakanku setelah ini.
Lydia tidak mungkin selamanya tinggal di sini. Galih pasti akan mencarinya ke sini ketika tahu dia tidak ada di rumah.
"Makasih sudah membawaku ke sini," lanjut Lydia.
Aku mengambil kursi yang biasanya kupakai untuk melukis dan meletakkannya di hadapan Lydia sebelum mendudukinya. Lydia masih menggenggam gelas, sekalipun tidak lagi menenggak isinya.
"You shouldn't be here. Galih akan mencarimu, dan dia bisa berbuat apa saja di sini." Aku berkata tegas.
Lydia menghela napas panjang. "Satu malam ini saja. Please? Aku enggak mungkin tetap berada di rumah itu."
Aku menatapnya dengan perasaan berkecamuk. Apa pun yang dialami Lydia, jelas itu bukan urusanku. Namun, aku sudah berjanji akan menjadi teman yang siap menolongnya dan Lydia sangat membutuhkan kehadiran seorang teman saat ini.
Just a friend.
"What happened?"
Sekali lagi, Lydia menghela napas panjang. "He lost control. Ada masalah di kantornya. Galih enggak sengaja memukulku, itu juga karena aku memancing emosinya."
Aku tertawa pelan. Lydia masih saja membela laki-laki itu, setelah semua luka yang ditimbulkannya.
"Di mana dia sekarang?"
Perlahan, Lydia menggelengkan kepala. "Mungkin di kantornya atau di rumah orang tuanya. Galih butuh waktu untuk menenangkan diri."
Aku berdeham. "Aku pernah bilang, kalau aku bersedia membantumu sebatas teman, tapi ada syaratnya. Aku bisa membantumu kalau kamu berhenti menyalahkan dirimu dan membela Galih. You need help. You have to let him go."
Lydia meletakkan gelas di meja, lalu tangannya meraihku. "What if I let him go? Can you come back to me?"
Pertanyaan lirih itu membuatku tergagap. Selama beberapa saat, aku tidak berkata apa-apa, juga tidak melakukan apa-apa selain menatap mata Lydia.
Mata itu memberitahu banyak hal. Ada penyesalan di sana, juga perasaan bersalah. Ketika aku menatapnya lebih lama, aku bisa melihat perasaan Lydia kepadaku.
"I can't," sahutku. "Lagipula, bukan aku yang kamu butuhkan."
Lydia membuang muka. Dengan ujung jari, dia mengusap air mata yang menggenang.
"Kamu layak mendapatkan yang lebih baik dari Galih. Aku enggak bisa membantu selama kamu belum punya keinginan untuk membebaskan dirimu sendiri."
Aku bangkit berdiri, tapi Lydia menahan pergelangan tanganku.
"Kau mau ke mana?" bisiknya.
"Aku pulang ke rumah, jadi kamu bisa tidur di sini."
Lydia langsung berdiri sementara pegangannya di lenganku terasa semakin erat. Seakan itu belum cukup, Lydia melemparkan dirinya ke pelukanku. Dia memelukku erat dan tubuhnya mulai terguncang seiring dengan isakannya.
"Jangan tinggalin aku sendiri."
Sementara Lydia terus terisak, aku hanya diam mematung dengan tangan mengepal di kedua sisi tubuhku. Sekaligus mengingatkan diriku untuk tidak membalas pelukan itu.
Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kuhabiskan dengan berdiam, sementara isakan Lydia mengisi kamarku yang hening ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Paint
RomansaHe speaks with color! Caleb Raka, pelukis yang mengungkapkan isi hati lewat warna. Dia pernah jatuh cinta, tapi terpaksa merelakan perempuan yang dicintainya memilih orang lain. Azalea Karina. They said she lives with golden spoon in her mouth. Namu...