13. Caleb

6.1K 1.4K 77
                                    

When the time goes by, what stays is in the canvas

**

Jatuh cinta kepada Lydia bukan hal yang sulit. Setiap yang mengenalnya, akan mudah untuk jatuh hati kepadanya.

Melupakan Lydia adalah hal paling sulit yang pernah kuhadapi.

Ketika Lydia menyerah terhadap hubungan ini dan memilih untuk mengikuti perkataan orang tuanya, aku seperti didorong ke jurang dalam. Selama berminggu-minggu aku mengurung diri di studio, menolak kenyataan pahit yang menimpaku saat itu. Aku seperti hidup sekaligus mati. Tidak ada yang kuingat dari masa-masa itu, kecuali studio gelap dan kanvas yang dicoret warna tumpang tindih tanpa arti.

Berbulan-bulan setelahnya, aku tidak bisa melukis. Aku tidak hanya mati rasa, tapi juga tidak bisa berkarya. Selama berhari-hari aku cuma bisa duduk di depan easel yang menopang kanvas kosong.

Ada banyak yang bermain di benakku. Seharusnya bisa dituangkan ke dalam lukisan. Namun, tanganku tidak bisa diajak bekerja sama.

Ketika akhirnya bisa melukis kembali, lukisanku penuh dengan amarah. Juga, aku seolah lupa kalau spektrum warna itu luas.

Lukisanku hanya terdiri dari dua warna, hitam dan putih.

Sejak saat itu, aku tidak bisa lagi mencampur warna ke dalam lukisanku.

Ketika aku merasa sudah bisa menata hidupku lagi–hidup tanpa Lydia, dia kembali hadir di hadapanku. Aku memang pernah menemuinya, ketika aku sudah putus asa karena tidak juga menemukan orang yang cocok untuk membantuku mengurus ARTE. Hanya sebatas itu, mungkin tawaran sebagai teman.

Sedikit pun, aku tidak pernah mengharapkan adanya hubungan lebih dengan Lydia. Ketika hubungan itu berakhir, bagiku sudah selesai. Harapan untukku sudah tertutup rapat. Aku cukup tahu diri, mengingat Lydia tidak akan pernah bisa kembali kepadaku.

Maybe I still love her. Maybe I'm not loving her anymore. The thing is we were over and there's no chance for me to get her back to my arms.

Jadi, ketika Lydia meminta untuk bertemu siang ini, ada keinginan untuk menolak ajakan itu. Nyatanya, aku mengingkari keinginan tersebut.

Here I am now. Having lunch with the one that got away.

Di depanku, Lydia tidak banyak berubah. Meskipun dia dua tahun lebih muda, Lydia punya pembawaan tenang yang membuatnya terlihat lebih dewasa. Dia bukan cinta pertamaku, tapi dia yang pertama kali membuatku berani memikirkan masa depan.

Jika ada yang berubah darinya, mungkin tatapan matanya. Lydia terlihat redup, tidak bercahaya seperti saat aku mengenalnya. Senyumnya masih sama, tapi aku bisa melihat raut sendu di balik wajah cantik yang membuatku jatuh cinta itu.

Saat ini, aku menahan diri untuk tidak bertanya. "Are you happy, Lydia?"

"I think I am," ujar Lydia, mengagetkanku.

Aku tidak sadar kalau pertanyaan itu terlontar dari mulutku, bukan hanya ada di benakku saja.

"Forget it. Apa tujuanmu mengajakku ketemu?"

Lydia tersenyum canggung. Dia sengaja menunda untuk menjawab dengan menyesap teh miliknya.

"Aku cuma pengin ketemu. Pengin ngobrol. Enggak apa, kan? Ngobrol sesama teman."

Aku tertawa tipis. "Just to make it clear, kita enggak pernah menjadi teman. Kita bertemu dan aku jatuh cinta kepadamu. Begitu hubungan kita berakhir, semuanya selesai. Enggak pernah ada hubungan pertemanan di antara kita."

Lydia berdeham. "Mungkin kita bisa memulainya. Menjalin pertemanan."

"Do you think I am a joke?" tanyaku, sedikit lebih ketus dibanding yang aku harapkan.

"Aku ... kamu yang paling mengerti aku. Jadi kupikir, mungkin kita bisa berteman."

Kali ini aku sudah tidak bisa menahan tawa. Tidak peduli kalau tawaku mengundang perhatian sehingga beberapa pasang mata menatap ke meja yang kutempati.

Tawaku terdengar kering. Entah lelucon apa yang disampaikan Lydia, itu sama sekali tidak lucu.

"Aku enggak mau berteman dengan istri orang."

Wajah Lydia tampak pias saat mendengar ucapanku barusan.

Lydia memutuskanku untuk menikah dengan Galih, pria pilihan orang tuanya. Pria yang, di mata orang tua Lydia, memiliki masa depan lebih cerah ketimbang pelukis sepertiku. Pria yang, menurut orang tua Lydia, jauh lebih membanggakan sebagai menantu ketimbang seniman sepertiku.

Pria yang pernah menjadi sosok paling kubenci, sekalipun aku belum pernah bertemu dengannya.

Lydia menunduk, memainkan tisu yang sudah tidak jelas bentuknya. "Sorry."

Aku menarik napas panjang. Lydia yang ada di hadapanku tampak begitu rapuh. Dia memang tidak bercerita, tapi matanya memberitahu terlalu banyak. Ada beban berat yang ditanggungnya, sekalipun aku tidak mau tahu soal beban itu, tapi ada sebagian hatiku yang tidak tega melihatnya tampak seperti ini.

She used to be my sunshine. Now she looks like a ghost.

"Are you okay?" Aku bertanya pelan.

Lydia melirikku sekilas sebelum mengangguk.

"Kamu pembohong yang payah," timpalku.

Dia tidak pernah bisa berbohong karena telinganya selalu memerah setiap kali dia berbohong. Di saat Lydia mengangguk, aku melihat telinganya yang merah, mengkhianati dirinya sendiri.

"Kalau kamu memang baik-baik saja, kamu tidak akan mengajak bertemu, mengajakku berteman, sementara kamu terlihat seperti siap untuk menangis detik ini juga," cecarku.

Lydia menengadah. "I miss us."

Aku mengerang, berusaha menahan emosi yang tiba-tiba menguasaiku.

"If there's something wrong with you, cari orang lain yang bisa membantumu. Aku enggak bisa."

"Sorry. Aku ... aku cuma mau ngobrol aja. Mungkin aku kangen ngobrol dengan seseorang dan yang aku ingat cuma kamu. Aku enggak punya banyak teman yang bisa diajak ngobrol," timpalnya.

"Suamimu?"

"Dia ... bukan teman ngobrol yang baik," jawabnya,

Selama sedetik, aku berusaha mencerna ucapannya. Juga raut sendu yang semakin terlihat di wajah Lydia ketika ucapan lirih itu meluncur dari bibirnya. Pengakuan itu membuatku semakin sadar akan adanya masalah di kehidupan pernikahannya.

"Lalu, aku teman ngobrol yang baik?" tanyaku.

Sebaris senyum tipis terpasang di wajahnya. "You are. Kamu yang paling mengerti aku, Raka."

"Caleb."

Lydia mengangkat wajah.

"Call me Caleb. Begitu hubungan kita berakhir, kamu enggak lebih dari sekadar orang asing dan tidak ada orang asing yang memanggilku Raka."

Wajah Lydia tampak pias. Perkara panggilan, seharusnya itu bukan masalah besar. Namun itu caraku untuk mempertegas realita di antara kami, karena panggilan kecilku terlalu intim untuk Lydia yang sudah mencampakkanku dua tahun lalu.

"Sorry."

"Sudah berapa kali kamu minta maaf sejak tadi? It's not necessary at all."

Lydia sudah membuka mulut, tapi urung. Mungkin dia ingin meminta maaf lagi, tapi sadar kalau permintaan maaf itu tidak ada gunanya.

"I don't know what happened to you but I'm not the right person to talk with you right now. Kamu bahkan enggak bisa jujur di depanku soal masalahmu. Not that I care enough to know about it." Aku menghela napas. "I can't be your friend, Lydia."

Sekalipun hubungan kami sudah berakhir, nyatanya aku masih sangat mengenal perempuan ini. Dan kini, dia benar-benar terlihat seperti orang ingin menangis.

Aku harus angkat kaki sebelum air matanya keluar. Her tears are my kryptonite. Aku akan menyerah, dan membiarkan upayaku melupakannya jadi sia-sia, karena aku akan memeluknya kalau dia menangis.

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang