11. Caleb

6.1K 1.5K 34
                                    

I love someone with my painting. I kill someone through my painting

**

"Azka, my Dear."

Aku memutar bola mata saat mendengar lengkingan suara James. Sementara di sebelahku, Azka malah terkikik. Sekali lagi, aku memutar bola mata melihat tingkah mereka berdua.

James merangkul Azka dengan akrab. Mereka baru bertemu beberapa kali, tapi sudah seperti teman lama. Azka pernah bilang, James is a day light for my night time. Dia terlalu ceria, terlalu ramah, dan terlalu heboh. Persis Azka. Membuatku sakit kepala saja kalau mereka sudah bertemu seperti ini.

"Hei, what's wrong with him?" James menyikutku sementara pertanyaan itu ditujukan kepada Azka.

"Just being a Caleb," sahut Azka.

Aku memelotot, sementara dua manusia itu malah tertawa.

"How's Anggara?"

Azka mendengkus, lalu menunjukku dengan dagunya. "Just ask your friend."

"Oh no ... he messed up. Again. I should know. Ck ... ck ... ck..." James menatapku dengan raut prihatin yang terlalu dibuat-buat.

"You can handle him. Azka knows what to do," timpalku, lalu meninggalkan mereka.

Saat menuju tangga, aku mendengar Azka memberitahu James tentang apa yang terjadi. Tidak lama, James pasti akan tertawa. Tepatnya menertawakanku.

Benar saja, dari ujung mata aku melihat James terpingkal-pingkal.

Aku tidak mengerti kenapa bisa berteman dengan James. Sosok seperti James selalu kuhindari, menghabiskan waktu dengan orang yang kelebihan energi sangat menguras tenaga. James knows how to light up the mood. Sementara menurut James, aku paling tahu cara meredupkan mood.

James lebih dulu bekerja di ARTE. Dia yang paling gencar membujukku agar mau bergabung dengan ARTE. Later I know we make a good team. Jadi, ketika aku membuka ARTE Jakarta, dan menyadari Lydia tidak bisa membantu, maka aku butuh bantuan lain.

Then, there's James.

James, yang selalu mencari tantangan, langsung menyambut tawaran itu. Sekarang, aku yakin dia dan Azka bisa mengatasi Anggara.

Aku membuka pintu menuju studio di lantai tiga. Kegelapan langsung menyambut karena aku membiarkan jendela tertutup gorden hitam tebal. Aku menyibak gorden, membiarkan matahari sore sedikit menerangi ruangan itu.

Studio ini tidak begitu besar. Aku juga menjadikannya sebagai tempat tinggal, kalau aku terlalu larut bekerja dan malas pulang ke rumah. Dalam kurun sebulan terakhir, aku lebih sering menginap di sini ketimbang pulang ke rumah.

Aku membungkuk untuk mengumpulkan beberapa helai kaus kotor yang tergeletak di lantai. Saat melihat tumpukan baju kotor, mungkin sudah saatnya aku pulang. Apalagi, tidak ada baju bersih di lemari kecil yang ada di studio ini. Akhir pekan ini aku bisa pulang, kalau urusan dengan Anggara sudah selesai.

Mataku tertumbuk kepada kanvas kosong yang sudah menempati easel sejak galeri ini dibuka. Sementara di lantai, tergeletak palet dengan cat yang sudah mengering padahal tidak ada sedikit pun yang kugoreskan di kanvas. Kanvas itu masih putih, kosong, sama seperti isi kepalaku. Semalaman aku duduk di hadapannya, berusaha mencari ide yang bisa dituangkan ke atas kanvas, tapi kenyataannya aku malah tidak melakukan apa-apa.

Pertanyaan Azka terngiang di benakku. Aku sengaja menghindar, meski Azka tidak berhenti menyecarku.

She's right. Lukisanku akhir-akhir ini berwarna gelap.

Aku pernah bermain dengan warna-warna cerah di dalam lukisanku. Tapi, itu sudah lama berlalu. Meski saat ini cukup sulit untuk bisa melukiskan warna-warna cerah, jauh di dalam hati, aku berharap bisa kembali mengenal warna selain hitam.

Aku bergerak menuju tumpukan cat minyak. Tanganku mengambil setumpuk cat dan membawanya ke dekat jendela. Dari gorden yang terbuka, aku menatap ke luar sambil menimbang cat di tangan.

Lamunanku terputus saat mataku menangkap Azka di parkiran ARTE, dengan baju merahnya yang mencolok. Dia sedang bersama Tania. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Azka tertawa kencang. Dia bahkan memukul lengan Tania ketika mereka tertawa.

Mataku tidak lepas dari sosok itu, dari baju merahnya yang menyakitkan mata, juga tawanya yang entah bagaimana, bisa membuatku menarik bibir dan ikut tersenyum. Sekalipun aku tidak tahu hal lucu apa yang membuatnya tertawa seperti itu.

She's vibrant. She's full of life. Azka yang tidak pernah berhenti bicara, yang jalannya melompat-lompat, juga tawanya yang tidak bisa dikontrol, membuatnya terlihat sangat ... hidup.

Dan, saat menatap pantulan bayanganku di jendela, aku menangkap sosok yang sangat berbeda.

Aku seperti orang mati.

Aku menutup gorden, membuat sosok Azka lenyap dari pandanganku. Langkahku terasa berat saat mendekati easel. Aku meletakkan cat di lantai dan menatap kanvas kosong di hadapanku.

Kanvas kosong selalu berbicara kepadaku. Kanvas kosong itulah yang menghadirkan gejolak di dalam hatiku, sampai akhirnya tanganku bergerak untuk memulas cat dan kanvas yang tadinya kosong, kini mulai dipenuhi warna.

Aku menunggu sampai kanvas itu berbicara kepadaku.

Tanganku terulur mengambil cat dan menuangkannya ke atas palet. Sambil memejamkan mata, aku mengambil kuas. This is it, this is the moment I'm waiting for. Momen ketika kanvas berhasil bicara kepadaku dan tanganku bergerak dengan sendirinya.

Then, I did it. My first stroke.

Saat membuka mata, aku melihat sebuah guratan cat berwarna merah di atas kanvas yang tadinya kosong.

Merah. Warna pertama, setelah bertahun-tahun hanya mengenal hitam.

Love PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang