06. Hilangnya keadilan

146 29 2
                                    

Manusia emang jahat. Tapi alam akan selalu berpihak pada keadilan.

-o0o-

Aktivitas pagi dimulai, para manusia memadati jalan dengan kendaraannya. Begitupun Falee yang duduk di kursi bus sambil menyandarkan kepalanya di kaca bus.

Wajahnya pucat, tanpa berniat bolos sekolah. Saat kakinya masih kuat menopang badan, tak ada kata bolos sekolah dalam hidup Falee. Dia hanya ingin sukses dan membuktikan bahwa status ekonomi bukan penentu kasta seseorang.

Falee melirik sekilas kearah lengannya. Pita kuning itu masih melekat disana. Sebenarnya, Falee ingin sekali keluar dari SMA Saturnus, namun ada banyak hal yang harus dia pikirkan.

Ponselnya berdering. Dia melirik sekilas, ada beberapa nama murid yang sengaja menghubunginya untuk meminta contekan. Kejadian kemarin tak memberinya waktu untuk mengerjakan tugas, alhasil dia hanya mengabaikan chat teman sekelasnya. Bibirnya tersenyum tipis, pasti teman-temannya akan merundungnya.

Tepat sekali saat bel masuk, dia turun dari bus. Untungnya gerbang masih terbuka separuh, memberikannya akses masuk kedalam.

Falee layaknya mayat hidup yang tengah bergentayangan. Wajah putih alami ditambah pucat, tak lupa bibir kebiruan mendukung pernyataan bahwa dia tidak baik-baik.

Falee menyadari tatapan itu, tapi dia mencoba tidak peduli. Meskipun telinganya panas dan hatinya tidak nyaman.

-o0o-

Bola voli melambung ke udara, refleks seorang yang berada paling dekat dengan bola menangkisnya. Namun, posisi tangannya kurang tepat sehingga bola terlempar kesamping hingga keluar dari lapangan.

Elang mengusap wajahnya gusar, dia menepi dari lapangan tanpa memperdulikan timnya. Ketua tim mengikuti langkah Elang, dia ikut duduk sambil menegak sisa air hingga tandas.

"Lo keliatan capek banget," ujar Jeff seraya menepuk pundak Elang.

"Gue capek sama diri sendiri," jawab Elang.

"Itu wajar, Lang." Jawaban Jeff membuat Elang tersenyum tipis.

"Dulu gue ngumpulin banyak piala kejuaraan voli. Sekarang, ngeliat bola depan mata aja gue gak tau harus apa. Gue bener-bener kehilangan jati diri karena amnesia." Bibirnya terkekeh hambar, sedangkan matanya hanya menatap sendu dengan tatapan kosong.

"Semua itu butuh waktu, Lang. Lo harus asah skill terus, ntar pasti bisa. Jangan nyerah, oke?" Setelah mengatakan hal itu, Jeff kembali bermain di lapangan.

"Gue kehilangan semuanya. Lo jahat banget Fal."

-o0o-

Semua murid berkumpul dipinggir lapangan. Perhatian mereka tertuju pada Falee sekaligus teman kelasnya di tengah lapangan.

Seragam Falee telah kotor terkena signature coklat. Falee dikerumuni oleh banyak murid yang tertawa bak iblis.

"Miskin aja belagu!"

"Gak punya apa-apa berani sekolah disini ya?"

"Hancurin mentalnya guys!"

"Menang otak aja bangga!"

Sorak ramai orang-orang meneriakinya. Bohong jika Falee termasuk gadis kuat. Tapi dia akan terlihat lemah jika menangis disini. Memberontak pun dia tak bisa, semua orang disini mengandalkan status ekonomi sebagai kekuasan.

"Ini akibatnya kalo lo gak nurut sama kita!" ujar Chika dengan lantang. Bahkan tak ada yang mau membela Falee.

Tanpa rasa bersalah Zidan mendorong Falee hingga tersungkur di tanah. Kepala Falee terbentur ke tanah, membuatnya berdenyut nyeri. Saat matanya menoleh ke lain sisi, seorang pria berdiri menatapnya datar. Dan disaat itulah, bendungan yang sedari tadi ia pertahankan akhirnya roboh. Air mata menetes membasahi pelipisnya.

Warga kelasnya berbondong-bondong membuka botol air mineral, dan menyiramkannya pada Falee.

Saat semua yang disana tertawa, sosok pria menendang siswa yang paling dekat dengan Falee. Zidan tersungkur ketanah, kepalanya membentur tiang bendera.

"MUNDUR LO BABI!" bentak Devan seraya mendorong kasar mereka yang tersisa didekat Falee.

Sebelum menghampiri Falee, dia menatap tajam kesemua pembully disana. Orang baik akan terlihat berkali-kali lipat menyeramkan saat marah. Begitulah gambaran Aksa saat ini.

"Hati nurani kalian mana sih?" ujar Rajen.

"Bingung gue. Bisa-bisanya kalian sombong sama harta. Harta itu titipan woi! Kalo harta lo udah diambil sama pemilik aslinya, mati lo!" sahut Devan.

"Punya sifat kek Babi!" Semua unek-uneknya dilontarkan pada perundung.

"Bawa pergi, Sa," titah Danes pada Aksa. Pria itu mengangguk, dia memasangkan jaket ke Falee, dan memapah gadis itu berdiri.

Sebelum dia meninggalkan tempat, tatapan intimidasi kembali ditujukan pada sang penjahat.

"Kalo kejadian ini keulang lagi, lo mati!" Ancamnya tertuju pada para perundung. Logatnya kini menyatu dengan emosi, tak ada ekspresi selain amarah.

"Punya telinga 'kan?" imbuh Danes yang sejak tadi diam.

Sebelum meninggalkan tempat, Rajen mengacungkan jari tengahnya. Hingga Devan memeluk bahu untuk mengajak Rajen pergi.

Disisi lain, bahu Falee bergetar. Aksa juga ikut tertular rasa sakit.

"Nangis Fal, jangan ditahan," ujar Aksa.

"Sakit, Sa." Jawaban itu membuat Aksa mengeratkan pelukan di bahu Falee. Akhirnya, Falee menyembunyikan wajahnya di dada Aksa. Dia mengeluarkan rasa sesak di dada yang sedari tadi ditahan.

"Bagi rasa sakit yuk Fal."

-o0o-

"Ini bukan hal sepele, Pak!" ujar Aksa. Nadanya meninggi saat pria hadapannya menganggap hal ini layaknya lelucon.

"Iya Aksa, nanti bapak hubungi orang tua yang bersangkutan," jawab Pak Doni.

"Lantas, apa yang bapak lakukan setelah menghubungi para orang tua?" tanya Aksa.

"Nanti saya pikirkan ya,"

BRAKKK!

Tanpa takut Aksa menggebrak meja hadapan Doni.

"MURID BAPAK LAGI DIRUNDUNG! BAPAK DIEM AJA?!" bentak Aksa.

"APA KEADILAN HARUS DIBELI PAK? KALO UANG ADALAH SEGALANYA, DUNIA RUSAK PAK!"

Pak Doni ikut berdiri. Wajahnya sudah siap melontarkan amarah.

"Kamu hanya anak baru! Jangan main-main disini!" balas pak Doni.

"Saya bisa cabut sumbangan keluarga saya di sekolah ini kalo saya mau!" Ancam Aksa. Keadaan yang memaksa, Aksa harus mengikuti permainan sekolah ini.

Pak Doni terdiam. Napasnya memburu menahan amarah.

"Keluar kalian!" titah pak Doni yang kehabisan kalimat.

Aksa berdecih pelan. Dia mengajak Falee berdiri dari duduk.

"Bahkan, sekarang uang bisa mengendalikan bapak ya?" ejek Aksa.

Dia mengajak Falee berbalik arah. Namun, langkahnya terhenti sejenak.

"Jangan takut Pak. Saya akan ikut permainan sekolah, dan memenangkan apa yang saya inginkan." Setelah melontarkan kalimat itu, Aksa mengajak Falee pergi dari ruang BK.

Mereka keluar dari ruangan dingin itu. Bel masuk sudah berbunyi, keadaan luar ruangan sangat sepi.

"Makasih, Sa. Maaf udah ngerepotin kamu," ujar Falee. Sebut saja dia lemah karena air matanya tak henti menetes.

Tanpa aba-aba Aksa menarik Falee kedalam dekapannya. Dia mengusap surai rambut Falee sebagai sumber kekuatan.

"Manusia emang jahat. Tapi alam akan selalu berpihak pada keadilan."

-
-
-

Next tidak?!

Vote komen bestie!

Jangan lupa ikut PO novel Dear Chelsi ya, akhir Desember!


Pelangi Terakhir Untuk FaleeshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang