Sekencang apapun Aksa menangis untuk memberi tahu dunia bahwa dia tak ingin kehilangan, tetap pada akhirnya takdir yang menentukan.
-o0o-
Empat tenaga medis memenuhi ruangan. Aksa menatap nanar kearah jendela yang gordennya tersingkap setengah. Pikirannya terus berputar pada mimpinya tadi. Rasanya mimpi itu terlihat sangat nyata. Bahkan hingga kini Aksa bisa mengingat jelas sedingin apa tubuh Falee. Pria itu terlihat kacau. Rambutnya sudah acak-acakan, pakaiannya juga berantakan, dan wajahnya nampak sangat muram karena tak henti menangis.
Dalam suramnya atmosfer rumah sakit, Alena berdiri di samping Aksa. Tangannya menepuk bahu pria yang tengah dirundung kesedihan. Hingga salah seorang dokter datang, meminta keluarga berbicara di ujung koridor supaya tak ada kebisingan.
Aksa mengikuti Alena dari belakang. Suasana koridor ini cukup sepi. Tak ada orang berlalu lalang selain rombongan Aksa.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Alena.
"Nona Faleesha sangat kuat ya, Bu. Bahkan jantungnya terus memompa untuk organ-organnya yang sudah rusak," ujar dokter Diana, menatap nanar pada keluarga pasien.
Aksa tak kuasa menahan tubuhnya. Dia memilih duduk di kursi. Dengan napas tersenggal-senggal, ia memasang telinga dengan baik untuk mendengar hal menyakitkan apalagi yang akan dokter sampaikan.
"Ini keajaiban, Bu. Meskipun tak ada harapan untuk nona Faleesha sembuh, namun pasien tetap berjuang," dokter berucap sambil tersenyum. Bukan senyum manis, melainkan senyum miris.
"Dengan berat hati saya sampaikan. Organ tubuh nona Falee sudah rusak, apabila kami mencabut alat medis, maka nona akan dinyatakan meninggal dunia. " Ungkapan dokter Diana menjadi belati untuk hati seorang ibu yang sangat menyayangi putrinya.
Aksa menggeleng pelan, lalu beranjak dari tempat duduk. Dengan tidak sopan, Aksa membuka pintu ruang rawat Falee. Semua orang mengikuti Aksa dari belakang, termasuk dokter Diana. Ruangan ini sangat dingin, namun tak sedingin tubuh Falee dimimpi itu.
Hari ini Devan dan Danes menemukan sosok Aksa yang sangat rapuh. Jiwa itu, tak seperti milik Aksa biasanya.
Aksa menatap kearah dokter Diana. Dengan tangan yang menggenggam erat jemari Faleesha, dia menggeleng pelan.
"Jangan dilepas dulu, Falee masih nunggu pelanginya,"
"Aksa ...," ujar Alena disela-sela isak tangisnya. Dia mulai memeluk raga Aksa yang sudah kehilangan akal.
"Mama," panggil Aksa linglung. Dia memeluk Alena erat, padahal dia baru saja bertemu wanita itu.
Hal ini mengingatkan pada Aksa kecil. Dia yang pernah mengalami kehancuran saat kepergian Dita. Aksa kecil yang masih terkejut hanya berusaha mencari pengganti Mamanya. Rasanya, Aksa kehilangan tempatnya bersandar, tempatnya berpulang, tempatnya mengadu, tempatnya menangis. Perlu waktu supaya Aksa meyakinkan diri sendiri bahwa kepergian Dita bukan akhir hidupnya.
Aksa selalu bicara pada diri sendiri bahwa Dita masih ada. Walau raga itu telah menyatu dengan tanah, tapi Aksa yakin jiwa Dita selalu ada disampingnya. Kini linglungnya Aksa menganggap Alena adalah Dita.
Mereka duduk di lantai yang dingin. Saling memeluk untuk kekuatan satu sama lain.
"Aksa nggak mau ditinggal lagi ...," adu Aksa pada Alena.
"Aksa nggak mau ...." Alena hanya bisa mengusap punggung rapuh remaja hadapannya. Sebagai seorang ibu, Alena bisa merasakan tekanan yang dihadapi Aksa.
"Falee anak baik, tapi kenapa dunia nggak sebaik itu sama dia?" tanya Aksa tak terima. Dalam pandangan Aksa, Falee sangat baik untuk pantas disebut manusia. Namun, mengapa hanya sedikit balasan dari dunia untuknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Terakhir Untuk Faleesha
Teen Fiction"Terima kasih telah menjadi manusia baik, meski dunia tak sebaik yang diharapkan." Kecelakaan di bulan Februari menjadi awal mula kehancuran hidup Faleesha. Peristiwa itu merebut kebahagiaan sekaligus jiwa Kakaknya yang paling berharga. Gadis manis...