14. Amarah Elang

113 30 0
                                    

Jangan nyakitin diri sendiri demi kebahagiaan orang lain. Bukan cuman kamu yang bakal sakit, tapi orang yang berusaha bikin kamu bahagia juga ikut sakit.

-o0o-

"Kamu udah makan?" tanya Aksa. 

"Belum," jawab Falee. 

"Terakhir makan jam berapa?" tanya Aksa. Kali ini dia mencari alat pengukur gula darah dan jarum insulin. 

"Sarapan." pengakuan Falee membuat Aksa menghentikan aktivitasnya. Dia menatap Falee setengah kesal.

"Dokter bilang apa?" tanya Aksa kesal.

"Nggak boleh telat makan," jawab Falee sambil tersenyum negosiasi. 

"Bandel banget sih! Kalo kambuh gimana? Yang ngerasain sakit juga kamu sendiri, udah tau gitu gak mau jaga diri!" Aksa yang kesal akhirnya membuang muka dan mempersiapkan peralatan makan Falee. 

"Aku belum terbiasa sama suntik. Aku masih takut jarum," ujar Falee seraya menatap sendu kearah Aksa. Sang pendengar turut iba karena kondisi yang tak diinginkan. 

Aksa mengambil sapu tangan berwarna hitam dari tasnya. Dia mengikat sapu tangan itu di kepala Falee. Si gadis hanya diam dan kebingungan. Beberapa detik kemudian bibirnya mencoba bersuara. 

"Kamu ngapain, Sa?" tanya Falee kebingungan. 

"Gimana caranya kamu makan kalo nggak mau suntik?" tanya Aksa. 

"Waktu aku kecil kaki ku pernah injak paku, rasanya sakit banget. Bayangan rasa sakit itu nggak pernah hilang sampai sekarang. Rasanya, kalo ada jarum nusuk tubuhku, kayak mau mati. Mungkin ini bisa dibilang trauma," cerca Falee. Dalam pandangan yang tertutup kain, dia membayangkan masa kecilnya kelam. 

"Kalo nggak mau suntik berarti kamu siap mati kelaparan," sarkas Aksa. Ungkapan itu membuat Falee bungkam. 

"Hidup itu tentang pilihan. Sekarang kamu tinggal pilih, nahan rasa sakit karena tusukan jarum atau mati kelaparan." Falee benar-benar dibuat bungkam oleh Aksa. 

Dengan lembut tangan Aksa membersihkan jari tengah Falee, kemudian menyuntikkan jarum yang terlihat seperti pulpen. Mata Falee terpejam, tapi ekspresi dari bibirnya membuat Aksa ekstra hati-hati mengeksekusi darah yang mengalir dari jari Falee. 

"Dulu waktu aku SMP Papa kasih pilihan. Ikut keluarga Mama, atau terus sama Papa. Jelas aku pengen banget tinggal bareng keluarga Mama. Sayangnya, ada peraturan keluarga yang bikin aku ngerasa lebih baik tinggal bareng Papa,"

"Aku lahir di keluarga yang sangat menghargai budaya. Semua keturunan yang berjenis kelamin laki-laki, harus bisa menjadi dalang,"

Setelah mengetahui kadar gula Falee, Aksa menyiapkan suntik insulin. Dia mengikis lengan kaos Falee supaya terlihat jelas bagian yang harus di suntik. 

"Aku ngerasa alasan aku hidup bukan sebagai dalang, tapi aku punya cita-cita lain yang pengen aku kejar," jarum pengantar insulin mulai masuk kedalam pembuluh darah Falee. 

"Tapi sekarang aku ngerasa kalo nggak ada salahnya jadi dalang. Masuk ke dunia seni nggak akan merubah apapun. Aku akan tetap menjadi Aksa yang bercita-cita sebagai hakim di masa depan, dan juga menjadi Aksa yang bisa meneruskan budaya biar nggak hilang dimakan zaman." Lantunan kisah indah itu membuat Falee lupa akan traumanya pada jarum. Falee sama sekali tidak merasa sakit saat fokus mendengarkan suara Aksa. 

Dilain sisi, Aksa melepas sapu tangan yang melilit di kepala Falee. Hal pertama yang dia lihat adalah ukiran senyum Aksa yang candu. 

Sekarang Falee paham. Hidup akan selalu tentang pilihan. Banyak hal yang harus dipilih, banyak ujian yang wajib dilewati, dan banyak mimpi yang harus diraih. Jika kini Falee menyerah, maka dia harus bersiap melepas segala keinginannya. Namun, jika Falee memilih berjuang, maka dia harus siap menerima segala duka. 

Pelangi Terakhir Untuk FaleeshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang