24. Pergi

105 26 3
                                    

Sekeruh apapun kehidupan, cuman jiwa kamu yang bisa menopang raga.

-o0o-

"Vitaminnya jangan lupa minum,"

"Ntar disana jangan telat makan,"

"Kalo liburan kesini aja,"

"Jangan lupa bantuin Ibu sama Bapak disana,"

"Jangan sering begadang,"

"Belajar yang tekun,"

"Kalo pergi-pergi jangan lupa kasih ka---"

"Iya Mbak Ayu ku sayang," sahut Aksa, moodnya sedang tidak bagus. Sedari tadi wajahnya muram. Padahal malam ini Ayu sangat semangat membantu Aksa melipat baju. Berbeda seperti biasanya, Ayu yang tidak ingin membantu Aksa, sedangkan Aksa yang tidak tahu diri menyuruh Ayu padahal sibuk kuliah.

Jemari lentik Ayu tak lelah melipat baju Aksa dengan rapi, sesekali ia bernostalgia memikirkan Aksa yang dulu. "Kamu capek nggak Sa?" tanya Ayu tanpa berhenti melakukan aktivitasnya. 

"Capek kenapa, Mbak?" Aksa bertanya balik sambil merapikan barangnya. 

"SMA itu tempatnya remaja kehilangan jati diri. Kamu nggak capek ngerasain sifat labil kamu?" tanya Ayu. Pikirannya beputar dimasa-masa SMA dahulu. Dimana suka duka sangat terasa dan melelahkan. 

Aksa mulai tertarik dengan topik ini. Dia duduk di atas kasur seperti Ayu. Kepalanya jatuh bersandar di bahu kanan Ayu. "Kok Mbak tau?" balas Aksa seraya menghelat napas panjang. 

Seutas senyum tersungging di bibir Ayu. Tangannya bergerak mengusap sayang pipi adik laki-lakinya. "Mbak pernah seumuran kamu, Sa. Mbak tau fase-fase remaja itu kayak apa," ujar Ayu. Gadis itu selalu memberikan senyum manis yang membuat wajahnya berkali lipat lebih cantik. Ayu itu seperti Aksa versi wanita. Tak heran jika dia menjadi primadona kampus. 

"Aku capek, Mbak. Aku benci sama diri sendiri," jawab Aksa. Kini Ayu menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh kearah Aksa yang kini telah menegakkan tubuhnya. 

"Capek itu wajar, Sa. Kamu boleh marah, kamu boleh kecewa, kamu boleh nangis. Tapi sekeruh apapun kehidupan, cuman jiwa kamu yang bisa menopang raga. Nggak ada yang bisa bantu kamu berdiri, kecuali diri kamu sendiri," tutur Ayu. Suaranya sangat lembut dan menangkan hati.

"Kamu masih ingat kata leluhur kan? 'Urip iku koyo kopi, yen ndak iso nikmati rasane panggah pait' Hidup itu seperti kopi, apabila tidak bisa menikmatinya maka yang dirasa hanyalah pahit," imbuhnya lagi. Hal itu membuat Aksa dilanda keresahan.

Benar ucapan Ayu, waktu yang terus berputar akan memaksa para manusia melangkah lebih jauh. Entah berapa banyak suka, atau tak sedikit dibumbui duka.

"Mbak, makasih udah jadi sosok Mbak sekaligus Mama buat Aksa," ujar Aksa sangat tulus. 

"Aduh! Adekku wes gede." (Aduh, adekku sudah besar) Ayu membawa Aksa kedalam pelukannya. Adik kecilnya yang selalu menjadi penyemangat kini telah tumbuh menjadi sosok remaja tampan. 

Ayu mengusap rambut Aksa. Wangi parfum baccarat Aksa membuat Ayu enggan melepas pelukan pada Aksa. 

"Kamu gak pengen bilang sayang sama Mbak ta?" goda Ayu seraya terkekeh pelan. 

"Maaf kalo Aksa suka bikin Mbak kesel, maaf kalo Aksa nyusahin Mbak, tapi Aksa sayang banget sama Mbak. Makasih banyak ya Mbak," ujar Aksa tulus dari hati. Siapa yang tidak meleleh saat sang pria yang dicintai menyatakan secara rasa sayang terang-terangan. 

"Kamu tau, Sa? Mbak selalu berdoa dapat jodoh yang punya sifat kayak kamu. Sayang keluarga, menjunjung tinggi sopan santun, menghargai wanita, kuat menghadapi kehidupan. Mbak bangga kamu tumbuh dengan baik." Ayu menyatakan rasa sayangnya pada Aksa. Tak jarang mereka bertengkar karena berbagai alasan, namun sebesar apapun pertengkarannya mereka tetap kakak adik yang saling menyayangi. 

Pelangi Terakhir Untuk FaleeshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang