43. Pelangi Terakhir Untuk Faleesha (END)

232 25 6
                                    

Pelangi yang mengantarkan Faleesha beristirahat selamanya akan menjadi akhir bahagia kisah ini.

-o0o-

Waktu terus berjalan, sedangkan posisi Aksa masih sama. Sudah dua hari lamanya Aksa duduk di samping Falee, tanpa membiarkan satupun tenaga medis menyentuhnya. Semua orang sudah angkat tangan membujuk Aksa, termasuk Alena. Berkali-kali dokter menjelaskan bahwa tidak ada harapan untuk Falee bertahan, meski sekarang jantungnya masih berdetak. 

Setiap kali dokter datang, Aksa memeluk tubuh Falee erat. Dia tak akan memberi celah bagi mereka yang ingin mengangkat alat medis di tubuh Falee.

Bukan hanya Aksa yang frustrasi setengah mati, semua orang disana juga ikut merasakan kesedihan.

"Jangan dulu, Dok," cegah Aksa. Ia menggeleng pelan sebagai peringatan bahwa dokter itu tak boleh menyentuhnya. 

Dokter Arnan duduk di samping Aksa. Sudah banyak dokter mengadu padanya bila keluarga pasien ruangan ini menolak ditangani lebih lanjut. 

"Kenapa?" tanya dokter Arnan pada Aksa. 

"Masih ada janji yang harus saya tepati," balas Aksa. Tak peduli seburuk apa penampilannya. Sedari malam Aksa menangis pilu, hingga mencetak sembab di kelopak matanya. Tak hanya Aksa, melodi tangis itu tercipta dari semua penghuni ruangan rawat Falee. Ada Alena yang sudah 3 kali pingsan sejak kemarin. Ada Rajen, Devan, Danes, yang sangat kehilangan. Kemudian ada Hira, dan Jeff yang turut bersedih atas keadaan. 

"Dia kuat ya?" tanya dokter Arnan sambil tersenyum tipis. Pasiennya kali ini membuatnya kagum. 

"Dia hebat, Dok," jawab Aksa seraya tersenyum diantara wajah sembabnya. Perlahan tangannya mengusap rambut Falee supaya menyingkir dari wajah cantiknya. Dengan mata terpejam saja, Falee bisa membuat Aksa terpukau. Andai mata indahnya terbuka, pasti predikat gadis paling cantik telah di dapatkan Falee.

"Saya percaya dia hebat." Falee memang sehebat itu. Dia memiliki semangat bangkit saat manusia berlomba-lomba menjatuhkannya. Tubuh tegap itu telah menyimpan segala luka atas hidangan duka. 

"Tapi, waktunya sudah tiba," imbuh dokter Arnan.

"Jangan buat dia menunggu lama, dia harus istirahat." Pria berumur 43 tahun itu bangkit dari duduk, lalu mengusap puncak kepala Aksa sebelum dia pergi dari ruangan. Dia berharap semoga Aksa mau membiarkan Falee pergi ke semesta selanjutnya.

Setelah kepergian dokter, tak berselang lama sepasang suami istri dan seorang mahasiswi masuk kedalam ruangan. Hadirnya Lina langsung memeluk Aksa dengan isak tangis. Bahkan Ayu dan Agung ikut hancur karena kejadian ini. 

"Ibuk ...," gumam Aksa. 

"Iya, Le," balas Lina. Tangannya tak henti mengusap punggung pria yang sudah dianggapnya seorang anak. Punggung tegap yang dahulu sering kali Lina peluk, kini terasa berbeda. Rasanya, rapuh dan terlalu lemah. 

"Lepasin, Le," tutur Lina. Lagi-lagi hal itu yang Aksa dengar.

"Aksa pengen, Buk. Tapi, sebentar," balas Aksa diselingi isak tangis. 

Alena beranjak dari sofa. Dengan napas yang tersenggal-senggal, dia menarik kursi supaya lebih dekat dengan Aksa. Alena menggenggam tangan Aksa, hal itu membuat Lina merenggangkan pelukannya. 

"Sudah dua hari, Nak. Biarin Acha istirahat ya, kasihan Acha," ujar Alena. Rasanya sangat tidak mungkin bagi Alena mengikhlaskan. Tapi, Alena tahu hal ini tak bisa dicegah. Biarpun dia menangis darah, atau mengancam akan menghancurkan dunia bila Falee pergi, hal itu tak akan merubah apapun. Memang sudah waktunya untuk Falee pergi. Dan Aksa pun paham tentang hal itu. Hanya saja, dia masih terikat janji.

Pelangi Terakhir Untuk FaleeshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang