30. Kehidupan Aksa

104 22 0
                                    

Jangan lupa play lagunya, biar vibesnya lebih kerasa.

Dia tidak pergi, hanya beristirahat karena lelah.

-o0o-

"Niko! Iku wayang e larang, ojok ditekuk-tekuk. MasyaAllah anak e uwong!" (Niko! Itu wayangnya mahal, jangan ditekuk-tekuk. MasyaAllah anaknya orang!) kesal bu Widya karena Niko yang sejak tadi bermain-main dengan wayang Semar milik sekolah. Niko yang merasa namanya disebut meletakkan wayangnya lalu duduk dan bersikap layaknya tak terjadi apa-apa.

"Dadi bocah kuwi koyok Aksa ngunu loh! Wes ngganteng, meneng, gak kakehan polah!" (Jadi anak itu seperti Aksa gitu loh! Sudah ganteng, pendiam, nggak banyak tingkah!) imbuhnya lagi. Aksa yang merasa terpanggil memutar atensi menatap bergantian kearah Niko dan bu Widya.

Guru berkaca mata itu menghelat napas panjang dan mengembuskan perlahan. Ia berusaha menetralkan emosiya.

"Lir-ilir ... Lir ilir ... Tandure wong sumilir ...," Bu Widya menghentikan nyanyiannya. Tangannya mengayun-ayunkan meminta para murid meneruskan nyanyiannya.

"Loh ayo!" ajaknya bersemangat. Namun hanya satu dua anak saja yang bersuara. Hal itu membuatnya berdecak kesal.

"Kok gak nyanyi, Le? Nduk?" ujarnya kesal.

"Katanya lagi lir-ilir ngundang setan, Bu!" Bu Widya jelas terkejut perihal itu. Ia tak menyangka ada sebuah pernyataan menyatakan bahwa tembang Jawa mengundang roh halus. Manusia berjenis apa yang membuat pernyataan itu?

"Kamu tahu dari mana?" pancing bu Widya.

"Film, Bu!" balas serempak beberapa murid. Hal itu membuat bu Widya menembuskan napas lelah. Dari sekian makna tembang Jawa, mengapa masyarakat hanya menangkap hal mistis saja?  Padahal lebih banyak makna positif dalam setiap bait tembang Jawa.

"Kalian tahu apa yang membuat Indonesia dikenal seluruh dunia?" tanya Bu Widya. Semua orang mendengarkan dengan tenang.

"Artis Indonesia yang mendunia?" celetuk Niko.

Bu Widya tersenyum tipis. "Jauh sebelum para artis Indonesia dikenal seluruh. Negara itu sudah dikenal karena kekayaan budayanya," cerca bu Widya. Penjelasan terdengar lembut dan hangat membuat para murid diam, mendengarkan dengan benar.

"Negara mana yang punya wayang? Negara mana yang punya sinden? Negara mana yang punya gamelan? Negara mana yang punya Reog? Cuman Indonesia. Bangga nggak kalian? Harus bangga!" tuturnya penuh semangat.

"Sudah diberi warisan budaya, harusnya kalian melestarikan. Itu hukumnya wajib!" sambungnya.

"Lah kok bisa kalian menganggap lagu daerah mengundang setan? Lagu lir-ilir itu diciptakan sebagai tembang dolan atau lagu anak-anak khas Jawa Tengah," semua murid meringis malu.

"Sekarang kalo kalian menganggap warisan budaya Jawa itu hal mistis, nanti dimasa depan budaya hilang terkikis zaman. Tidak ada lagu mistis, yang ada hanya manusia yang menyalah artikan kebudayaan," guru berumur 57 tahun itu masih semangat menjelaskan. 

"Sekarang ibu minta salah satu dari kalian nyanyi lagu khas Jawa. Ada yang mau maju?" Semua diam, ragu menampilkan suara mereka. Bu Widya menurunkan kaca mata dari atas kepalanya. Ia mulai menatap satu persatu wajah muridnya.

"Ibu tunjuk saja ya? Ayo murid baru maju." Sontak Aksa menatap bingung kearah bu Widya.

"Saya, Bu?" tanya seraya menunjuk diri.

"AYO MAS AKSA!" goda Fadil. Seketika kelas menjadi riuh karena tepuk tangan seluruh penjuru kelas. Benar-benar kelas yang kompak.

Dengan malas Aksa maju ke depan. Ia tak pernah bernyanyi didepan umum, pastinya sangat gugup.

Pelangi Terakhir Untuk FaleeshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang