29. Alasan hidup

98 21 0
                                    

Dunia bisa memberikan kebahagiaan sekaligus bencana di waktu bersamaan. 

-o0o-

"Aku kayak kenal suaranya," ujar Falee terkejut. Ia menatap Devan bermaksud menagih jawaban. 

"Kamu kenal tante gue? Namanya Sri," jawab Devan gugup hingga tak memperhatikan kosa katanya. 

"Ternyata beda orang. Gak mungkin juga itu suara Bunda," ujar Falee seraya menghelat napas panjang. Suara itu mengingatkannya dengan memori lampau, dimana suara itu adalah sumber kebahagiaannya.

"Fal, kayaknya lo harus balik ke kelas deh. Setelah gue pikir lagi, ntar bokap gue marah gara-gara kebanyakan nyuap guru," pinta Danes. Respons Falee nampak tidak keberatan. Dia mengangguk setuju kemudian berpamit pergi. 

Melihat punggung Falee mulai menjauh, Devan mengembuskan napas lega. Tangannya menonyor kepala Rajen tanpa merasa dosa, hal itu cukup membuat Rajen kesal. 

"Lo apaan sih?!" protes Rajen. 

"Kenapa lo bilang itu nyokap gue?! Kan gue kira Mama yang telpon," kesal Devan.

"Mana gue tau, Pan. Gue tadi kan udah nunjukin, lo keburu nutup mata duluan," balas Rajen tak mau disalahkan. Pelipis Devan mulai berkeringat panik. 

"Lo kan tau sendiri gue panggil nyokap itu Mama bukan Bunda!" imbuhnya yang masih kesal.

"Mana gue tau, Anjir! Bulan lalu lo ganti nama kontak nyokap lo Umi. Jangan salahin gue kalo anggap Bunda itu Mama lo," balas tak kalah kesal. 

"Sampai kapan lo sembunyiin fakta, Pan? Lo gak kasihan sama Falee. Dia butuh ibu kandungnya," ungkap Danes mulai menatap serius kearah Devan. Danes tak tahan lagi melihat nasib sial Faleesha. Berkali-kali hati Danes tersentil karena melihat kehidupan Faleesha. Gadis mana lagi yang bisa berdiri meski semesta enggan memberinya kesempatan berbahagia? Danes tak mengenal siapapun kecuali Faleesha. 

Devan nampak tak acuh dengan ucapan Danes. Ia kembali menelpon seseorang yang dianggap Bunda.  

"Bun, maaf tadi Epan matiin mendadak. Epan nggak tau kalo tadi telpon Bunda, jadi Epan nggak sengaja kasih ke Falee. Maafin Epan ya Bun," ujar Epan penuh rasa bersalah. Ia tak ingin mengacaukan rencana yang sudah dirancang dari 1 tahun lalu. 

"Gak apa-apa, Pan. Kamu nggak sengaja. Harusnya tadi kamu nggak matiin telponnya, Bunda pengen dengar suara anak cantiknya Bunda," balasnya sambil terkekeh pelan. 

"Bunda sabar dulu ya. Bentar lagi Bunda bisa peluk anak-anak Bunda,"

"Bunda udah gak sabar peluk anak-anak Bunda. Bunda tutup dulu ya, oatmealnya langsung Bunda kirim ke rumah Acha, nanti kamu bilang ini dari kamu," 

"Siap, Bunda!

Panggilan berakhir. Devan menangkup wajahnya kecewa. 

"Gue bukannya jahat karena pisahin Falee sama Bunda Alena. Tapi ini bagian rencana Bunda Alena, gue gak pengen rusak proses yang sejak dulu Bunda rancang," tutur Devan sendu. Ia tak tega melihat dua insan yang saling merindukan berpisah, tapi ini bagian dari prosesnya.

"BTW gue kangen Aksa," ungkap Rajen sambil membayangkan percakapan random bersama si pria dari tanah Jawa. Minimnya pengalaman di Jakarta membuat Aksa terlihat sangat polos, dan sifat itulah yang mereka rindukan. 

"Gue kangen Aksa ngomong Cok," imbuh Danes. Sedikit random, tapi benar adanya. Kata kasar yang Aksa lontarkan memiliki ciri khas, tak jarang mereka tertawa karena kata asing itu. 

"Kita belum sempat liburan bareng ke Sidoarjo. Kita juga belum diceritain tentang kisah unik di Jawa," imbuh Rajen. 

Mereka membayangkan memori indah bersama Aksa. Pertemuan yang disengaja dengan maksud tertentu ternyata membuahkan persahabatan. 

Pelangi Terakhir Untuk FaleeshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang