32. Alasan kepergian

94 18 1
                                    

Meskipun zaman merubah dunia menjadi dibawah genggaman penguasa, tetaplah menjadi manusia baik yang selalu mengayomi manusia dan selalu memanusiakan manusia.

-o0o-

Gemericik air kolam berisi ikan koi menggema di seluruh sudut ruangan, menemani Aksa yang tengah merenung sambil memetik gitarnya. Berkali-kali nomor tak dikenal menghubunginya, Aksa kenal betul tabiat para sales diluar sana.

Drttt ....

Lagi-lagi ia tak acuh. Aksa memetik gitarnya mengikuti irama tangga nada.

Drttt ....

"Mas! Itu HP nya bunyi kok mendadak budeg!" celetuk Lina dari dapur. Aksa menepikan gitarnya, kemudian meraih ponsel berlogo apel.

Sedikit ragu untuk mengangkat panggilan itu, karena ia takut hanya nomor iseng atau seles promosi. Tapi pada akhirnya ia mengangkat panggilan itu.

"Halo!" sapanya.

"Ini nomornya Aksa?" Suara itu membuat Aksa mematikan panggilan. Ia meletakkan ponselnya ke sembarang sisi, kemudian beranjak dari duduk sambil membawa gitarnya.

Suasana hatinya mendadak buruk. Ia membanting diri ke kasur, kemudian menenggelamkan kepalanya di selimut tebal berwarna hitam. Setiap tawa serta tangis bersamaan rasa penyesalan selalu datang menghantuinya.

Aksa sendiri mengakui bahwa ia pria jahat. Tapi setiap kejahatan pasti memiliki alasan 'kan? Seperti Aksa yang memilih menyakiti daripada disakiti. Jauh di hati kecilnya merasa bahwa hubungannya bersama si gadis bermarga Cakrawala akan baik-baik saja. Tapi pada akhirnya kenyataan bahwa rasa takutnya belum sembuh membuatnya memilih berhenti.

Tok ... Tok ... Tok ....

"Mas! Buka pintunya!" titah Lina dibalik pintu. Tangannya tak henti mengetuk kasar pintu itu.

"Besok sekolah, Buk! Aku mau tidur!" jawab Aksa setengah berteriak.

"Buka pintunya atau HP mu tak sita!" Ancaman itu membuat Aksa menyibakkan selimutnya. Ia berjalan mendekat ke pintu sambil bertanya-tanya apa yang membuat Lina bersikap seperti ini. Tidak biasanya Lina mengancam Aksa, kecuali ia melakukan sesuatu kesalahan besar.

Pintu terbuka, menampilkan Lina yang sudah memasang raut tak bersahabat. Tanpa permisi wanita itu masuk kedalam kamar Aksa, melempar kasar ponsel ponakannya ke kasur.

"Duduk!" perintahnya tegas. Aksa yang kebingungan hanya menuruti perintah Lina.

"Liaten HP mu itu loh! Hati nurani mu itu di mana?!" ujar Lina penuh emosi. Dia menarik kasar kursi belajar Aksa, kemudian duduk menghadap ponakannya.

"Kamu apain Faleesha?!" tanya Lina. Emosinya masih belum mereda, bahkan kini matanya berkaca-kaca.

Aksa diam sejenak. Ia melirik kearah ponsel dan Lina secara bergantian. Kini Aksa paham mengapa Lina sangat emosional.

"Siapa yang ajarin kamu nyakitin wanita?" tanya Lina. Sedangkan Aksa menunduk resah.

"Simbah, Mamamu, Ibumu, Papamu, Bapakmu, Mbak Ayu, atau yang lain? Siapa, Le?!" kini nadanya meninggi.

"Kamu dibesarkan bukan untuk menjadi pria yang menyakiti wanita, tapi kamu dibesarkan untuk menjadi manusia yang bisa mengayomi manusia lainnya. Kamu lupa perintah itu?" tegas Lina.

"Kamu pernah cerita ke Ibu. Katamu, Falee sendirian, dia sengsara, dia sakit, dia sedih, dia butuh kasih sayang. Tapi ibu lihat, mata indah itu bahagia saat ada kamu. Senyum manisnya hadir karena kamu, dan kamu paham itu?" Kini air mata Aksa turut menetes bersamaan dengan tutur kata Lina.

Pelangi Terakhir Untuk FaleeshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang