Pelangi tak hanya datang selepas badai menerpa bumi. Tapi pelangi bisa saja singgah tanpa alasan dan jarang diketahui karena tak mengungkap tanda-tanda kehadiran.
-o0o-
Suasana ruang makan Falee sedang dirundung keresahan. Semua orang berusaha melakukan hal terbaik untuk melacak kehadiran Elang. Falee lemah dibawah pelukan Alena. Dia merasa sangat kehilangan.
Aksa tak bisa melihat Falee yang seperti ini. Ia berdiri sambil mengulurkan tangan kearah Falee. "Makan dulu yuk, Fal," ajak Aksa. Seperti prediksi Aksa, gadis itu hanya menggeleng lemah dengan tatapan kosong.
"Kita bakal berhenti cari Elang kalo kamu nggak makan," ancam Aksa. Dia tak setega itu untuk membenarkan ucapannya. Namun, cara ini terbilang ampuh demi Faleesha.
Falee yang awalnya enggan meninggalkan rengkuhan Alena akhirnya membalas uluran tangan Aksa. Rasanya seperti menggandeng raga tanpa nyawa. Jiwa Falee kosong, hanya diisi tanda tanya besar tentang keberadaan Elang. Seperti kehilangan setengah nyawa yang
Aksa mengajak Falee ke kolam rumah Devan. Area ini tidak besar, tapi cukup menenangkan. Biasanya, menikmati angin sore cukup menyegarkan. Tapi, tak ada gunanya jiwa hampa menikmati semilir hawa. Senja ini cukup cerah, berbeda dengan suasana hati penikmatnya.
Aksa duduk di tepi kolam sambil mengayunkan kaki. "Sini duduk," mintanya pada Falee sambil menepuk tempat sampingnya. Falee hanya menurut, dia terlalu lemah untuk sekadar mengeluarkan ekspresi.
Perlahan Aksa menyuntikkan jarum insulin di lengan Falee. Gadis itu mendesis kesakitan. Meskipun sudah berkali-kali dimasuki jarum, tapi rasanya masih sama.
Aksa menarik kepala Falee untuk bersandar di bahunya. Hari ini, terhitung belasan kali Falee menangis, tapi ia baru detik ini dia mengeluarkan seluruh emosinya di bahu Aksa. Tentang Alena, dia tak bisa banyak menangis pada ibunya. Meskipun dahulu rengkuhan hangat itu adalah tempatnya berpulang, namun Falee tak bisa menceritakan seberapa sakit rasanya. Karena Falee tahu hal ini juga menyakitkan untuk Alena. Falee tak ingin memberi beban yang kesekian untuk Alena.
"Semuanya bakal baik-baik aja," ujar Aksa berusaha menenangkan Falee.
"Aku nggak tahu kenapa rasanya sesakit ini," adu Falee. Untuk ukuran Falee yang pernah ditinggalkan, hari ini rasanya seratus kali lipat lebih menyakitkan. Falee juga tak tahu mengapa jiwanya sangat lemah.
"Elang nggak pergi jauh. Kita masih berpijak disemesta yang sama." Penuturan Aksa tak sedikitpun menenangkan Falee. Ada rasa mengganjal kala mengingat Elang pergi. Rasanya, Falee tak akan menatap bola mata itu lagi, tak akan memeluk hangatnya raga seorang kakak, tak bisa menikmati senyum secerah mentari, dan tak bisa lagi bercengkrama renyah seperti dahulu kala.
"Kalau kakak nggak kembali, aku harus apa?" tanya Falee berandai hal menyeramkan.
"Kalo Elang kembali, kamu mau apa?" tanya Aksa mengubah arah pembicaraan.
"Aku mau peluk Kakak dan kasih semua surat yang ada di laci," jawab Falee yang semakin membuatnya berandai menemui Elang.
"Surat?" gumam Aksa penasaran.
"Surat yang selama bertahun-tahun aku simpan buat Kakak. Pokoknya surat-surat itu harus berakhir di tangan Kakak." Terdengar kuno memang, namun surat itu adalah seluruh harapan Falee untuk hidupnya. Falee takut Elang tak akan mengingatnya lagi, surat itu adalah bukti rasa sayang seorang adik meskipun sosok iblis menguasai tubuh kakaknya. Walau satupun secarik surat belum berada dalam genggaman Elang, Falee akan sabar menanti.
Aksa hanya bisa tersenyum mendengar setiap tutur kata Falee. Ia tahu gadis ini tak membutuhkan sepenggal kata sebagai penyemangat. Falee hanya membutuhkan pelangi tetap disampingnya.
Lamat-lamat Aksa mengusap kepala Falee. Memberikan ketenangan untuk gadis cantiknya. Matanya tak sengaja menatap kearah angkasa. Ternyata, pelangi datang.
"Fal, ada pelangi," ujar Aksa. Arah pandang Falee menatap cerahnya Bumantara. Baik sekali awang-awang menampakkan pelangi.
Kini Falee dan Aksa mengetahui satu hal. Pelangi tak hanya datang selepas badai menerpa bumi. Tapi pelangi bisa saja singgah tanpa alasan dan jarang diketahui karena tak mengungkap tanda-tanda kehadiran.
Seperti itulah jalan kehidupan mengungkap hal bahagia nan kesedihan silih berganti. Selalu mengejutkan dan tak terduga.
Disisi lain Alena diam menatap jam dinding dengan perasaan resah. Tak berselang lama Hira---Ibu Devan datang. Dengan berkas-berkas rapi, dia menatap Alena sambil mengangguk mantap.
"Ayo, kita nggak punya banyak waktu."
Tentang kemana mereka pergi, tempatnya tidaklah jauh. Namun tentang seberapa langkah mereka bertindak, rasanya sangat jauh hingga setitik cahaya terlihat nyata. Sebuah sinar bahagia yang selama ini mereka perjuangkan.
-o0o-
Ruangan dingin dan menegangkan, hadir sosok Mira, Chris, dan beberapa ahli hukum. Dengan wajah pura-pura tersakiti, Mira duduk diatas kursi roda didorong Chris dari belakang.
Semua mata memandang iba kearahnya. Wajah itu terlihat pucat seperti kelelahan. Lingkaran hitam juga tercetak di sekitar bola matanya.
Hari ini pengadilan pembagian harta. Semuanya telah dimanipulasi serapi mungkin oleh Mira. Manusia ular itu sangat totalitas merebut harta Toni.
Semua berjalan lancar sebelum gerombolan orang menerobos masuk kedalam ruang persidangan.
"Mohon izin hakim ketua! Tolong hentikan persidangan ahli waris ini! Karena semua data yang tercetak adalah dimanipulasi oknum bernama Roseanne Amira."
Dibalik tubuh tegap sang pengacara yang menghentikan jalan persidangan, berdiri dua wanita berbalut kemeja rapi beserta rok span. Wajahnya terlihat tegas menahan amarah.
"Saya Alena Latasya, istri sah Toni Indrawan, ibu kandung Garuda Cakrawala dan Faleesha Permata Cakrawala. Saya salah satu yang selamat dalam kecelakaan di bulan Februari kelam." Tanpa rasa takut, Alena berdiri sejajar dengan pengacara. Matanya menatap nyalang kearah Mira yang sudah mematung ditempat.
Indah sekali pemandangan hari ini. Setelah menyakiti putra-putrinya, Alena tak akan membiarkan Mira hidup bahagia. Doa seorang ibu untuk anaknya adalah sihir terbaik untuk mengubah keadaan.
"Manipulasi seperti apa ini? Saya istri sah Toni Indrawan, dan ibu kandung Erlangga Cakrawala yang sebenarnya!" bantah Mira. Otaknya berada di jalan buntu. Mira tahu kehancuran sudah berada di depan matanya. Tapi, ini terlalu cepat. Bahkan niat serakahnya belum terlaksana.
"Apa bisa kita ubah sidang ini menjadi topik pembunuhan, pelanggan hak asasi manusia, dan penipuan identitas?" tanya Alena merasa lega telah sampai di titik ini.
Sejenak sang hakim membuka lembar demi lembar berkas pernyataan pihak Roseanne Amira. Para hakim berdiskusi sejenak lalu menyetujui usulan Alena.
Kini atmosfer tak lagi semenyedihkan tadi, namun berubah menjadi tegang dan menyeramkan. Banyak pengorbanan yang dilakukan Alena, termasuk melihat putra-putrinya tersiksa. Kini, Alena hanya ingin Mira hidup dalam jeruji besi penuh penyesalan.
Dalam keheningan malam ibu tak hanya diam, namun berdoa supaya Tuhan menyayangi dan melindungi malaikatnya.
-
-
-Haiii!!!
Gimana kabarnya?
Ayo vote komen ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Terakhir Untuk Faleesha
Teen Fiction"Terima kasih telah menjadi manusia baik, meski dunia tak sebaik yang diharapkan." Kecelakaan di bulan Februari menjadi awal mula kehancuran hidup Faleesha. Peristiwa itu merebut kebahagiaan sekaligus jiwa Kakaknya yang paling berharga. Gadis manis...