They Don't Understand

264 36 3
                                    

Tujuan dia kemari untuk bersantai, melepas penat yang dirasa oleh beban yang sedikit demi sedikit mengalami kenaikan kendati dia juga terus berusaha melewati rintangan yang didapatnya. Pikirannya penat, tubuhnya pun ikut lelah karena terhisap habis oleh mentalnya yang terlampau letih menghadapi dunia.

Jika dibilang, hidupnya tidak sebegitu suram. Dia masih punya keluarga utuh, kendati beberapa keretakan itu tak terelakan, namun setidaknya kepingannya masih menyatu walau tidak lagi sempurna seperti semula. Ia bukan orang yang memiliki krisis ekonomi yang berat, hidupnya masih tertolong oleh beberapa orang di sekitarnya kendati kata ikhlas itu tidak sepenuhnya diberikan tapi ia berusaha menutup mata terhadap fakta, demi pembalasan terhadap kebaikan yang sedikitnya ada pada mereka. Dia juga bukan orang terkucilkan oleh teman sebaya, melainkan berbaur terhadap semua namun hanya akan memilih diantara mereka yang mengerti akan dirinya.

Dari segala keberkahan itu, orang-orang mungkin akan bertanya, lantas apa masalah yang dimilikinya? Apakah dia termasuk orang yang tidak bersyukur?

Sebutlah mereka yang berasumsi buruk tentang keadaan mentalnya itu memiliki pikiran sempit, yang hanya dapat membedakan warna hitam dan putih tanpa abu-abu yang mengisi diantaranya. Mereka tidak mengerti, kendati saat mereka mengetahui sedikit tentang kisahnya, mereka bilang mereka paham. Jieun tahu baik akan kebohongan besar yang ada dalam kalimat tersebut. Kalimat itu seolah angin lalu yang hanya berisi kata penenang tanpa emosi yang setara dengan apa yang dirasakannya.

Jieun muak akan segalanya. Kalimat yang bermaknakan dorongan yang seharusnya membuatnya berubah ke arah yang lebih baik, justru mendorongnya jatuh terjerembap dengan luka yang menghias akibat kekuatannya yang terlalu keras untuk tubuh ringkihnya. Mereka bilang dorongan keras itu bagus, agar kamu terbiasa akan kekuatannya. Mereka bilang kamu harus memahami, jika yang mengajarkanmu untuk menjadi lebih baik memanglah sudah seperti itu. Tapi tidakkah lebih baik jika dorongan itu dilakukan perlahan tanpa kekuatan yang belum tentu dapat diterima oleh tubuhnya?

Tubuhnya penuh luka tanpa disadarinya. Dia percaya saat orang mengatakan dia akan baik-baik saja saat ia tidak berpikir tentang keadaan tubuhnya yang penuh luka. Namun kemudian, dia tidak tahu saat luka itu tidak akan pernah sembuh, melainkan membusuk hingga melumpuhkan sebagian fungsi tubuhnya.

Dia akan menangis oleh hal kecil yang justru tidak dimaksudkan untuk menyakitinya. Dia akan terluka saat harapan terbesarnya yang dinantinya tidak terkabulkan. Dia akan ketakutan saat teriakan penuh marah itu kembali. Tubuhnya bergetar, dengan sesak yang memenuhi dada teriring akan mata yang perlahan mengembun oleh luapan emosi yang telah tertanam begitu lama di dalam dirinya.

Dia terisak. Menangis keras. Menjerit hingga terbatuk. Kesakitan itu menggerogotinya hingga keluar dan memakan habis segala pertahanannya. Kepingan ingatan itu perlahan bermunculan, bagai video dokumenter yang diputar beriringan akan gejolak emosi yang bercongkol di dalam dada yang disebabkan oleh berbagai alasan.

Napasnya tersendat dan video itu terjeda saat fokus matanya teralih pada sosok anak laki-laki yang duduk bersama sang Ibu di atas tikarnya. Sang Ibu terlalu asyik mengajak mengobrol balita di pangkuannya yang ditebak sebagai adik dari anak laki-laki tersebut hingga tidak menyadari jika atensi si anak laki-lakinya telah teralih, menatap pada gadis yang terlihat begitu kacau di bawah pohon.

Senyum itu perlahan terpulas pada bibir sang anak dan tanpa disadarinya, hati Jieun menghangat melihat senyum penuh ketulusan yang diberikan anak laki-laki tersebut. Kemudian, seruan itu terdengar hingga menarik perhatian anak laki-laki itu untuk menoleh melihat pada sosok pria dewasa yang berdiri di tepi danau yang ada di ujung sana.

Ia menyadari akan pandangan pria itu yang mengarah padanya. Membuatnya malu saat menyadari jika dirinya baru saja menangis seperti orang gila beberapa saat lalu.

Pada menit kedua, pandangan itu masih bertahan hingga ia sengaja memutusnya demi menyelamatkan mukanya dengan berusaha mengalihkan diri pada buku mata kuliahnya yang bahkan begitu jarang dibacanya.

Dari ujung matanya, dia dapat melihat pria itu tidak lagi menatapnya melainkan tengah berjalan mendekati wanita yang diduganya sang Ibu dari kedua anak tersebut. Ia tidak dapat menebak apa yang dilakukan pria itu selanjutnya, karena pandangannya yang melekat pada buku tidak dapat menjangkau hingga di tempat keluarga kecil itu berada.

"Noona..." cicitan itu terdengar dan Jieun nyaris terlonjak terkejut saat menangkap kaki kecil yang berdiri di hadapannya. Pandangannya menaik hingga menemukan sosok anak laki-laki itu kini menyodorkan kotak susu strawberry dengan tangan gempalnya.

"Ini untuk Noona..." ujarnya malu-malu dan Jieun yang masih belum mencerna situasi hanya terdiam. Anak itu kemudian meletakkan kotak susu di dekat Jieun sebelum ia berlari dengan kaki kecilnya menuju wanita dan pria yang ditebaknya sebagai orang tua dari anak itu.

Jieun menyadari jika keluarga kecil itu telah merapikan peralatan piknik mereka. Dengan anak laki-laki itu yang berada di gendongan sang Ayah dan sang Ibu membawa anak balita perempuannya. Kedua pasangan itu mengulas senyum, dengan lambaian singkat yang dilakukan sang wanita, memberitahukan jika mereka berpamitan padanya.

Ia mengulas senyum membalas sementara matanya tidak lepas pada sosok keluarga kecil yang tampak bahagia itu hingga punggung mereka tidak terlihat lagi dan pandangannya kemudian jatuh pada kotak susu itu, menyadari adanya kertas kecil yang sengaja ditempel pada kemasan susu itu.

'It's okay not to be okay. Just take your time to pass it. Remember you made it another day and you can make it one more.'

Setidaknya, Jieun menyadari kendati tidak satupun orang mengerti tentang lukanya, namun mereka peduli dan memberinya pemahaman akan ruang yang memang dibutuhkannya.

.
.
.

A/N: I'm okay if you ask me. It's just a bit of a story about myself that I want to share to motivate you if you ever have the same condition with me 🙂

IU's Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang