25. Bingkai Hati

14 2 0
                                    

Aryan sampai di ujung gang rumah Asya. Ia pun dihadang oleh mas Ipung yang sedang mabuk karena minuman keras. Saat ia bicara tercium bau minuman yang dikonsumsi, seperti bau tuak. Aryan gak terlalu meladeni saat anak-anak itu seperti mau berbuat sesuatu yang kurang baik.

"Pung sikat itu Pung!" Anak-anak mabuk itu mulai mengadu Ipung dengan Aryan. Aryan tetap berjalan walau sambil menuntun motornya. Hal itu ia lakukan untuk menghindari keributan aja di gang orang. Padahal untuk berdiri tegak saja mereka tidak sanggup. Tampaknya mereka mabuk berat terlihat beberapa botol kosong bekas tuak masih berada di bawah tempat mereka nongrong yaitu pos ronda.

"Stop! Cepek dulu baru boleh masuk!" Mas Ipung mulai beraksi sambil bergoyang-goyang gak jelas. Aryan mengambil uang selembar sepuluh ribuan dari kantong depan kemejanya yang selalu ia siapkan agar tidak selalu membuka dompet.

Setelah diberi uang itu, mas Ipung memperbolehkan Aryan untuk jalan. Ipung tampak senyum-senyum sambil memandang uang sepuluh ribuan yang masih agak baru. Ia memutar topi di kepalanya ke arah belakang sambil mempersilahkan Aryan masuk ke dalam gang.

Tapi sebentar kemudian seorang laki- laki berkata tegas datang berjalan ke arah orang- orang mabuk itu.

"Ayo kalian bubar-bubar sana. Ayo pada pulang semua tanpa kecuali. Mas Ipung ayo pulang, anak-anak antarkan pak Ipung pulang ya!" Seketika anak-anak yang bermain gitar, yang mabok, yang manfaatin wifi gratis langsung bubar semua. Otomatis pos ronda kosong.

"Iya pak RT." Anak-anak itu pun segera beranjak pergi.

Sejenak Aryan mencoba mengingat suara siapa itu. Mencoba diingat-ingatnya. Sampailah akhirnya ia teringat pemilik suara itu adalah ayah Asya!

Sedang asik dengan pikirannya sendiri, Aryan ditegur orang itu.

"Adik mau kemana ini, sudah malam lho?" Aryan mengangguk dan mengambil tangan ayah Asya lalu menciumnya.

"Maaf om, om ayah Asya ya?" Aryan membuka helmnya. Ayah Asya jadi terkejut.

"Lho nak Aryan ada apa?" Aryan tersenyum tapi bingung mau ngomong apa tak mungkinlah kalau bilang ia kangen sama anaknya.

"Oh saya cuma jalan- jalan kok om." Aryan menelan ludah karena sedang berbohong didepan ayah Asya.

"Ayo mampir sebentar, kebetulan si Asya lagi sakit. Tadi dia minta dibelikan bakso di ujung gang itu. Saya gak ngijinin kalau Tio adiknya yang pergi beli, yah seperti nak Aryan lihat sendiri anak-anak itu mabok semua. Mereka itu bukan asli penduduk sini tapi diajak oleh anak-anak sini." Aryan mengangguk dan senyum.

"Om gimana kalau saya antarkan ke tempat membeli baksonya."

"Ah terimakasih itu sudah dekat, biar saya jalan saja."

"Kalau gitu saya ikut ya om?" Ayah Asya mengangguk sambil merangkul Aryan. Perasaan Aryan tenang seperti dalam pelukan ayah sendiri. Semakin rindu ia pada ayahnya yang berada di luar daerah.

Ayah Asya tak mau dibonceng karena sudah dekat. Aryan jadi menuntun sepeda motornya dan sebelah pundaknya ada tangan ayah Asya.

Setelah selesai memesan bakso Aryan bergegas membayar dan menambah pesanan agar semua makan bakso bersama dirinya juga.

"Nak Aryan makasih ya om jadi malu."

"Om gak apa, boleh saya lihat kondisi Asya om?" Ayah Asya mengangguk.

"Kebetulan nak Aryan seorang dokter tolong lihat kondisi Asya ya." Kali ini Aryan yang mengangguk. Ia tak dapat menahan gemuruh rindu di dadanya akan bertemu seorang Asya yang dicintainya.

"Yang om lihat bagaimana kondisi Asya bagaimana om?"

"Yang om lihat dia pucat sekali badannya hangat. Biasanya dia banyak bicara, banyak cerita sama om dan tante, tapi ini hanya diam saja. Dan berkurung di dalam kamar terus."

"Oh begitu ya om, ayo om saya bonceng saja, kok saya sedikit khawatir." Ayah Asya mengangguk menyetujui. Jadilah mereka berboncengan menuju rumah.

Sampai di rumah Asya, Aryan mendengar suara Asya lagi tertawa lepas bersama Dewi. Ia menengok ke ayah Asya dan ayah Asya hanya mengangkat bahu sambil senyum-senyum gitu? Hemm?

Saat Asya yang membuka pintu rumah betapa kagetnya Asya. Kok?

"Lho yah dimana ketemu mas Aryan?" Tanya Asya sambil menengok bergantian kearah keduanya. Aryan dan ayahnya.Yang ditengok malah senyum-senyum.

"Ayo masuk dulu nak Aryan, Asya ini baksonya ditaruh di mangkok. Kita makan bersama di meja makan." Asya cepat mengambil bungkusan bakso semua yang ada di dalam kresek.

Setelah siap makanlah mereka dengan ramai. Aryan terus melihat Asya tanpa kedip membuat Asya jadi kikuk karena ayah dan ibu saling senyum berdua saat melihat Aryan memandang anak gadisnya.

"Nak Aryan maafkan om ya?" Pertanyaan ayah Asya membuat Aryan gelagapan.

"Ya nggak apa om, saya senang kalau Asya gak sakit tapi sehat-sehat aja." Kata Aryan sambil melirik Asya. Asya jadi melotot pada ayah mendengar itu. Sedangkan ayah malah meledeknya dengan mengeluarkan lidahnya.

Ayah dan ibu ketawa sedangkan Aryan tertunduk dan sesekali melirik Asya yang juga diam tertunduk malu sambil senyum. Hati mereka tertebak kedua orang tua itu. Ada rasa kangen.

Setelah selesai makan ayah dan ibu masuk ke dalam kamar setelah berterima kasih pada Aryan atas traktiran baksonya pada anak dan istrinya.

"Ya sama-sama om, boleh saya ngobrol sebentar sama Asya ya om?"

"Iya silahkan tapi jangan terlalu malam, malu karena om seorang RT nanti malah kena tegur warga."

"Iya saya mengerti itu om, terimakasih ya om. Selamat beristirahat." Ayah mengangguk.

Aryan mengajak Asya duduk di teras rumah. Ia berusaha mencari tangan Asya dan itu disambut oleh Asya. Tangan mereka saling menggegam satu sama lain tanpa banyak kata keluar dari bibir mereka.

"Asya aku kangen sekali malam ini sama kamu?" Bisik Aryan di telinga Asya. Sedangkan Asya menunduk malu. Lalu bibir Aryan bergeser ke pipi Asya lalu menciumnya membuat Asya kaget tapi... Senang. Tangan keduanya bertambah erat menggenggam... Malam ini. Senyum keduanya mengembang berpandangan begitu indah bingkai hati mereka berdua malam ini, seindah bulan disana di atas sana di langit cinta milik mereka berdua.

***

Setelah Aryan pulang sambil mengendap, tanpa sepengetahuannya ibu menghidupkan lampu ruang tamu yang membuat Aryan kaget sekali.

"Ibu belum tidur?" Ibu tak menjawab pertanyaannya. Malah menunjuk kursi di sebelahmya lalu menyuruh Aryan untuk duduk. Dan Aryan menurutinya tanpa banyak tanya, karena ini pasti masalah yang serius.

"Aryan benar kamu mau menikahi si Asya itu?"

"Iya ibu," kata Aryan sambil menunduk.

"Sebenarnya ibu tidak setuju kamu cepat menikah, tapi itu terserah kamu saja. Apa kamu sudah melihat semua kejelekannya? Bukan yang bagus saja yang harus kamu lihat!"

"Iya ibu," Aryan masih menjawab dengan menunduk.

"Ayahmu sudah ibu kasih tahu kalau kamu mau menikah, pertama ayahmu marah karena kamu masih muda dan masih banyak pertimbangannya. Lagian kamu kan belum punya penghasilan, apa kamu bisa menghidupi istrimu keĺak?"

Aryan diam seribu bahasa, dalam hatinya ia membenarkan kata-kata ibunya. Ia gak mau orang yang dia cintai jadi menderita karenanya.

"Nak gimana apa kamu mau mempertimbangkannya lagi?" Aryan menunduk dan mengangguk.

"Ibu maafkan Aryan, Aryan cuma berpikir kalau takut akan kehilangan dia saja bu." Aryan kembali menunduk dalam bingung, akan hatinya. Disatu sisi ia sangat membenarkan kata ibu, disisi lain ia sudah terlalu sakit hati pada mama Erika. Sepertinya beliau ingin mendekatkan kembali dirinya pada putrinya.

"Ibu, Aryan mau ke kamar ya bu. Besok ada tugas di rumah sakit." Ibu mengangguk dan memandang sejenak putranya yang tampan. Aryan hanya mengelus pundak ibu lalu berlalu ke kamar.

Setelah bersih-bersih karena dari jalan-jalan, Aryan duduk sejenak di pinggir tempat tidurnya. Ia masih saja memikirkan akan segera memperistri Asya Dahlia.

TBC
Hai hai! Jangan lupa tekan bintang di bawah kiri ya!

Terpaksa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang