Kala cinta menemukan tujuannya, niscaya akan membahagiakan dengan segala keterbatasannya.
Walau rintangan di depan mata namun semua itu adalah perjuangan cinta. Yang akan terus diperjuangkan.
"Eh ada apa mas?" Kata Asya dengan risih dipandangi Aryan begitu dalam.
"Udah sampe Sya, tuh ayah dah duduk di teras." Aryan menunjuk ke arah rumah Asya namun kaca pintu mobil masih tertutup.
"Astaga mas aku nggak sadar ayo mampir mas?" Aryan menuruti kata-kata Asya agar turun dari mobil.
Dalam hati Aryan akan menggunakan kesempatan ini untuk membicarakan pertunangan dirinya dan Asya, walau Asya agak sedikit tidak setuju dengan rencana Aryan.
"Eh nak Aryan, ayo duduk. Gak ada praktik di rumah sakit hari ini nak Aryan?" Kata ayah sambil membolak balik koran usang di tangannya. Seperti bekas membeli makanan karena ada bekas minyak di permukaannya walau setitik-setitik saja.
"Eh hari ini tidak ada jadwal praktik karena kami akan menuju ke daerah penugasan sebagai dokter PTT om."
"Oooh gitu toh." Ayah kembali membolak balik korannya.
"Om saya mau ngomong bisa om?" Ayah mengangguk.
"Mau bicara apa nak Aryan?" Kali ini ayah memandang Aryan yang mau bicara kepadanya.
Sambil menengok ke arah dalam rumah Aryan mulai melancarkan niatnya untuk mengajak Asya bertunangan.
"Om saya mau kalau saya dan Asya bertunangan dalam waktu dekat ini." Ayah berhenti membolak balik koran usangnya. Memandang Aryan dengan seksama, seperti mencari kejujuran disana.
Aryan mengangguk seperti mencari kata setuju di mata sang ayah. Namun ayah kembali ke posisi semula membaca koran usangnya, sepertinya ayah belum bisa memutuskan jawaban setuju atau tidak kepada keinginan Aryan untuk bertunangan dengan Asya. Dalam hati sang ayah akan bertanya dulu dengan putrinya.
Lama mereka terdiam satu sama lain dan selama itu Aryan hanya menunduk terdiam pula sebelum pertanyaannya terjawab, dengan sabar Aryan menunggu.
Sebentar kemudian Asya datang membawa kopi untuk mereka berdua. Ayah memandang putrinya dan membuat Asya bertanya-tanya dalam hati "ada apa ayah?".
"Asya tadi nak Aryan mau mengajakmu bertunangan, apa dirimu setuju anakku?" Asya malah memelototin Aryan dan Aryan menjawab dengan mengeluarkan lidah memperolok Asya.
Mendengar pertanyaan itu Asya sedikit salah tingkah, karena Asya berpikir itu hanya omong kosong Aryan di mobil tadi. Ternyata ia serius!
"Ayah maafkan Asya, kalau Asya mau menerima pertunangan mas Aryan. Apakah ayah setuju?" Asya hanya menunduk memandangi kopi panas mereka berdua yang baru saja dibuatnya.
"Asya ayah setuju kalau kamu bertunangan dengan nak Aryan. Tapi bertunangan ya, jangan nanti kalian seperti orang menikah, jangan ya anak-anakku." Aryan tersenyum manis pada Asya.
"Nah sekarang Asya sudah setuju, kapan pelaksanaannya, om hanya menunggu ya nak Aryan. Kabarin kami. Ayah berkata sambil merangkul Aryan yang lagi senyum pada Asya. Sedangkan Asya hanya terdiam sambil memandang wajah Aryan yang lagi bahagia.
"Baiklah om, secepatnya saya kabarin keluarga disini sebelum saya berangkat ke daerah jadi kami sudah bertunangan." Setelah Aryan berkata demikian ayah jadi menengok ke arah Aryan.
"Lho jadi ini alasan nak Aryan mau lekas bertunangan dengan Asya?" Aryan mengangguk malu.
"Wah nak Aryan sayang sekali dengan anak om ya sampai takut kehilangan gitu?" Goda ayah yang membuat Asya sebel.
"Besar kepala deh si mas Aryan nih yah." Aryan malah mengeluarkan lidah memperolok Asya.
"Ha ha haaa Asya ada aja kamu nak." Asya kembali menunduk, sebelah hatinya bahagia bertunangan dengan Aryan yang tampan tetapi sebelah hatinya semakin takut kehilangan. Itulah makanya dia hanya terdiam sejak tadi. Namun Aryan melihat kemurungan di wajah Asya. Ia hanya mengelus pundak calon istrinya kelak.
"Udah besok saja, kan bisa lewat telpon saja dulu." Ayah mengusap-usap pundak Aryan.
"Kok nggak hormat ya om?" Kata Aryan sambil melirik Asya yang terus menunduk.
"Ya sudah mana baiknya ya nak Aryan." Ayah tertawa perlahan.
"Om saya pamit dulu ya om, ntar sore saya kemari mengabarkan setelah saya rundingan dengan ibu dan ayah saya. Sya sampai nanti yah." Aryan berjalan pulang ditemani Asya. Selama berjalan itu Asya hanya terdiam saja. Aryan melihat itu dan berusaha mencari tangan Asya untuk digenggamnya. Asya sama sekali tidak menolak hal itu.
"Sya apa kamu nggak bahagia aku mengikatmu dengan cintaku? Aku serius Sya? Jangan kawatir begitu." Asya menarik napasnya dalam-dalam.
"Mas aku belum selesai sekolah, kalau aku bertunangan apa kita akan segera menikah?"
"Ha ha haaa ternyata itu yang jadi pikiranmu ya Sya?" Asya mengangguk.
"Denger ni ya Sya, kita belum segera menikah. Usiaku menikah sebagai dokter PTT kan setelah tiga puluh tahun, sekarang usiaku baru dua puluh empat tahun jadi dirimu masih ada kesempatan untuk menyelesaikan sekolah. Ini dah mengerti apa belum Asya ku sayang?" Asya mengangguk senang. Asya mengayun-ayunkan tangan mereka. Aryan tersenyum dan menengok ke arah ayah Asya di kejauhan, disana beliau juga tersenyum melihat cinta mereka.
***
Sesampainya di rumah, Aryan melihat ibundanya duduk sambil merenda di depan TV. Aryan langsung duduk di sampingnya. Ibu sedikit kaget karena ia tak menyadari kalau anaknya bakal mau duduk bersamanya? Biasanya dari mana saja langsung ke kamar dan tak akan keluar lagi dari kamar.
"Ada apa le kok capek sekali kelihatannya?"
"Nggak lagi capek bu, tapi lagi senang dan bahagia. Aku mau tunangan bu sama Asya?" Ibu langsung menghentikan merenda benang wol di tangan dan memandang Aryan dengan heran.
"Kok kamu nekad sih le, mau tunangan segala." Ibu melengos memandang siaran di TV.
"Ya iya lah Aryan serius bu, Aryan takut si Asya diganggu orang jadi Aryan ikat saja dia dengan bertunangan." Ibu menarik napas.
"Terus gimana dengan pendidikan doktermu, kan belum dapat penghasilan. Terus gimana cara kamu nraktir calon istrimu sedangkan kamu gak punya uang karena belum bekerja." Ibu masih ingin membujuk anaknya agar jangan cepat memutuskan sesuatu. Apalagi ini berarti mengajak anak orang menikah, dimana muka dirinya sebagai calon besan kalau nanti putranya menikah? Bukankah seorang suami harus bisa membiayai kehidupan rumah tangganya.
"Bu aku cuma mau tunangan dulu, nanti kalau usiaku tiga puluh tahun baru bisa menikah bu." Ibu mangangguk mengerti.
"Terus keluarga calon tunanganmu mau menerima kamu le?"
"Ah pertanyaan apa itu bu, secara putra ibu ganteng." Kata Aryan sambil menidurkan kepalanya di pundak ibu.
"Masak kamu ganteng le? Ah biasa aja." Aryan malah melengos. Lalu beranjak ke kamar.
"Eh le kok belum selesai bicara sudah minggat?" Mendengar itu, Aryan berjalan mundur dan berhenti tepat di depan ibu duduk. Ibu menepuk bokong Aryan sambil tertawa.
"Kamu tuh ada aja." Ibu tertawa.
"Aryan mandi dulu ya bu, nanti kita lanjutin ya?" Ibu hanya mengangguk terpaksa.
Sementara putranya mandi, ibu terbawa dalam lamunan. Ibu teringat dengan Aryan yang baru mengenal cinta monyet.
Waktu dulu ia melihat Aryan begitu suka dengan Erika kok sekarang malah cuek bebek kalau ibu mau mengusik kembali hubungannya dengan Erika.
Kemarin ibu Erika datang mengajak sarapan bareng eh dia malah bohong bilang mau panasin mobil dulu. Ternyata malah menghilang langsung ke kampus.
Sebenarnya Aryan kenapa kok sama sekali tidak mau bertemu atau berbicara dengan Erika?
Ibu tak menemukan jawaban, ia menghela napas panjang dan melanjutkan menonton TV sambil merenda.
TBC
Halo guys jangan lupa tekan bintang disebelah kiri ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Cinta
Fiksi UmumAsya seorang gadis yang cantik sedikit manis sedikit manja dan periang sampai akhirnya bertemu dengan Aryan, seorang pemuda yang tegas dan bertanggung jawab. Aryan merubah semua sifat bawaan Asya yang lembut dan sedikit keras kepala. Namun Asya mal...