37. Mendiang Harun

9 0 0
                                    

Aryan dan Erika sebagai dokter PTT di desa Sumber Waras diberikan sebuah kantor sebagai balai kesehatan di desa tersebut. Desa yang tidak lah terpencil sekali hanya tenaga kesehatan nya yang masih kurang, ada satu perawat dan bidan yang mengabdi di desa itu, kebetulan penduduk dari desa tersebut. Si perawat bernama Sasih dan bidan desa itu bernama Murni. Sedangkan dokter nya hanya didapat dari kiriman dokter PTT tamatan dari Universitas Airlangga Surabaya dan Universitas lain yang ditunjuk itu pun selama beberapa tahun, setelah itu kosong lagi selama waktu tak menentu, Aryan menjadi prihatin dengan kekurangan tenaga dokter di desa itu.

Ingin rasanya ia segera memboyong Asya menjadi istrinya dan memiliki keluarga kecil disana, di desa itu. Tiba-tiba ada anak kecil datang mendekat terus duduk di kursi samping Aryan. Lama mereka saling pandang dan akhirnya anak kecil itu senyum. Senyum tulus tampaknya karena wajahnya yang masih penuh bekas ingus dan kotor dan maaf sedikit berbau amis. Naluri dokternya bergerak.

"Siapa nama kamu?" anak kecil yang ditanya malah senyum saja. Apa dia bisu ya? Aryan bangun dan segera ke kamar mau mengambil biskuit sisa kemarin, karena sama sekali ia belum tahu dimana supermarket terdekat dari kontrakannya.

Anak kecil itu senang sekali melihat dokter Aryan membawa biskuit. Matanya bersinar penuh harap biskuit itu akan segera diberikannya.
Tapi sebelum Aryan memberikan biskuit itu ia sekali lagi bertanya "siapa nama anak itu?"

Anak kecil itu hanya senyum mesam mesem sambil menarik turunkan alisnya mengarah ke tangan dokter Aryan yang sedang membawa biskuit itu. Akhirnya dokter Aryan segera memberikan biskuit itu dengan ikhlas, karena setelah diberikan biskuit itu anak kecil tadi hilang seperti angin saja dari hadapan dokter Aryan. Sebab baru saja dokter Aryan mau duduk di kursi, pas nengok ke kanan anak kecil tadi sudah hilang saja.

Dalam pertanyaan pada diri akan kehadiran anak kecil tiba-tiba itu membuat agak sedikit berdiri bulu kuduk juga. Karena hari sudah mulai senja Aryan memutuskan untuk segera mandi saja.

Keesokan hari dokter Aryan mulai bertugas di balai pengobatan milik desa itu. Banyak penyakit kronis yang belum bisa ditangani oleh pegawai kesehatan disana yaitu ibu Murni dan ibu Sasih. Yah bisa dimaklumi kalau beliau-beliau itu bukan bidangnya tapi kehadiran dan keikhlasan mereka cukup membantu juga bagi warga desa.

Saat selesai memberi pengobatan Aryan menyempatkan diri untuk mengobrol dengan ibu Sasih dan ibu Murni tentang warga desa disana.
"Kemarin saya didatangi anak kecil sepertinya gak pernah mandi terus ingusan dan dia gak mau memberi tahu siapa namanya? Apa ibu-ibu tahu siapa anak itu?"

"Dia minta apa sama pak dokter?" bidan Murni bertanya sambil merapikan timbangan bayi yang agak miring letaknya.

"Dia gak minta apa tapi saya hanya punya biskuit dan saya berikan pada dia tapi dia menghilang begitu saja." Ibu Murni tertawa perlahan mendengar penjelasan dokter Aryan.

"Owh si Harun, dia sudah meninggal lama sekali karena tak tertolong saat menderita pneumonia yang sudah lama diidapnya namun tahukan orang desa yang sederhana hanya ditolong oleh dukun saat itu. Saat itu saya masih sekolah setelah saya pulang saya baru bisa membantu menangani yang belakangan saya tahu kalau dia terkena pneumonia parah. Dia gak pernah mau bersuara walaupun dia tidak bisu tapi kalau dia bicara dia pasti batuk-batuk gak berhenti, dia sangat suka biskuit. Dan dia dimakamkan di belakang kontrakan pak dokter." Aryan agak terkejut juga mendengar penjelasan ibu bidan Murni.

Sedangkan dokter Erika hanya diam saja mendengar cerita itu, namun dia bersyukur kontrakannya agak jauh dengan kontrakan Aryan. Erika sempat melihat punggung tangan Aryan agak hitam bekas cubitannya kemarin. Kasihan ia melihatnya, tapi hatinya terlanjur kesal akan kecuekan Aryan padanya yang menurutnya gak jelas arahnya.

"Ibu Murni mau menunjukan makam si Harun itu?" Dan ibu Murni pun mengangguk mengiyakan.

Saat sore sekitar jam tiga, Aryan ditemani ibu Sasih dan ibu Murni ke makam Harun. Saat menuju makam, Harun sudah ada di sebelah Aryan, namun ia menaruh telunjuk tangannya di bibir hitam nya, agar ibu Sasih dan ibu Murni tidak takut. Aryan hanya mengangguk, jujur saja kalau Aryan agak takut juga namun hatinya ia tabah-tabah kan, mungkin suatu hari ia bisa mendengar suara harun dan mungkin Harun ingin berpesan sesuatu pada anggota keluarganya.

Terpaksa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang