18| welah-weleh

302 54 6
                                    

"Mami"

"Kenapa sayang?"

"Salah nggak kalau Karina masih sayang sama Jeno?"

"Kamu masih sayang sama dia?"

"......"

"Nggak salah. Manusia nggak bisa mengontrol rasa sayang yang ada di hatinya. Jatuh cinta itu bukan suatu kejahatan."

"Tapi Karina jatuh cinta sama laki-laki yang udah punya hati lain buat di jaga, Mi"

"Sayang sama seseorang itu bukan salah kamu, Karina. Menyimpan perasaan kamu buat Jevano bukan hal yang salah. Tapi itu bakal jadi sesuatu yang salah saat kamu mulai memperlihatkan rasa sayang kamu ke Jevano dengan sebuah tindakan yang mungkin akan menyakiti perempuan itu, atau bahkan diri kamu sendiri."

Karina terdiam.

Apa yang dikatakan Maminya memang benar. Mencintai dalam diam bukan hal yang salah. Yang salah adalah ketika kita mulai memperlihatkan cinta itu dengan tindakan yang mungkin aja bisa menyakiti orang lain. Atau saat rasa cinta itu berubah jadi sebuah keinginan buat memiliki. Karina sadar itu.

"Kamu masih sayang sama Jevano, Karina?"

"I just.... i just have no idea to my own feelings"

"Or it's just you who don't want to admitt your feelings?" tanya Mami.

"Karina... Karina nggak tau apakah Karina harus mempertahankan rasa ini atau membuangnya jauh-jauh. Di satu sisi Karina ngerasa ya-- moving on. Hidup terlalu remeh kalo cuma dipusingin tentang perkara cinta. Tapi bohong kalau Karina nggak bilang sayang sama Jeno."

"Kamu tau nggak kenapa orang-orang sering gagal move on, Karina?"

"...no idea"

"Good"

"Good?"

"Mm-hm"

Karina semakin dibingungkan atas ucapan Mami. Malau masalah ini, Karina bener-bener clueless deh. Dia aja bahkan belum berusaja buat move on.

"Emangnya, Mami pernah gagal move on...?"

"Of course i did. Sampe di suatu titik dimana Mami tersadar bahwa move on itu bukan tentang bagaimana caranya melupakan, tapi mengikhlaskan."

"...."

"Akan sangat sulit buat kamu untuk bisa lupa sama orang yang pernah hadir dan selalu jadi alasan kamu buat tersenyum bukan?" Mami tersenyum sambil mengaduk susu hangat yang ia buat untuk Karina.

"Buat Mami, lebih baik Mami mengikhlaskan orang itu. Masalah lupa sama dia nanti belakangan aja. Mami berusaha gimana caranya bisa ikhlas ngelepasin dia, ikhlas menerima kenyataan kalo dia bukan lagi orang yang bisa nememin kita lagi, ikhlas kalau ternyata kita bukan lagi jadi alasan dia untuk bahagia."

"Let me guess, ini bukan tentang Papi, isn't it?"

"Yang bilang ini tentang Papi siapa?" Mami hampir tertawa saat hendak meminum teh panasnya.

"Soalnya setau Karina, kita nggak pernah jadi alasan Papi buat tersenyum kan, Mi?" Karina tersenyum kecut.

Mami mengusap lembut kepala Karina. Memegang pipi putrinya itu dengan tangan hangatnya. Melihat bangga ke dalam manik mata hitam lekat itu sambil menganggukan kepalanya.

"Kalau Mami ditanya, Mami udah lupa belum tentang dia, Mami akan menjawab kalo Mami nggak akan lupa, tapi Mami udah ikhlas."

"...."

ErstharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang