39|confess

490 69 24
                                    

Seperti yang Genta katakan pada Tante Mami, jika Genta yang menemukan Karina, maka Genta tidak akan membawanya ke rumah. Karina masih membutuhkan waktunya sendiri. Genta hanya membantunya untuk memiliki waktu itu, tanpa membuat semua orang khawatir—dan tanpa membuat Karina sendiri dalam bahaya karena kecerobohannya. Hal ini sudah jadi hal yang biasa diantara Karina dan keluarganya. Baik Tante Mami atau Om Tae, keduanya paham pada pesan yang Genta kirim, jika Karina sedang bersamanya, maka perempuan itu aman. Cukup gantleman dan cukup bertanggung jawab untuk bisa dipercaya. Genta, tidak pernah melawati batasan itu.

Asinnya angin laut sudah bisa Genta rasakan dari semalam. Bau itu cukup kuat, sampai bisa membuat Genta bersin beberapa kali dalam semalam. Pagi ini dia sudah siap dengan baju gantinya. Sebuah funfact, Genta selalu menyimpan sepasang baju untuk seluruh anggota keluarganya di bagasi mobilnya, termasuk Karina. Jaga-jaga jika memang sesuatu terjadi. Pintu kayu yang sudah cukup lapuk bertuliskan angka 7 pada pintu itu Genta ketuk dengan pelan, agar tidak mengganggu orang yang ada di dalamnya.

"Karina? Lo udah bangun....?" Tidak ada suara yang menyaut ketukan itu. Kembali Genta ketuk pintunya, dengan lebih keras. "Karina?—tok tok—hallo? Udah bangun belom?" Nggak biasanya Karina jam segini belum bangun, tapi laki-laki ini mencoba memahaminya, mungkin Karina memang lelah, dia baru tertidur jam 3 dini hari tadi. Genta memutuskan untuk meninggalkan pintu itu, dan rencana ingin mencari sarapan disekitar pesisir pantai. Namun, baru 3 langkah dari kamar itu, terdengar suara pintu yang dibuka.

"Kenapa, Ta? Aku di kamar mandi tadi." Ucap Karia dari depan pintunya.

Genta menoleh, dan berjalan kembali. "Oh lo udah bangun? Mau ikut gue nggak? Gue mau cari sarapan." Tanpa pikir panjang Karina langsung mengiyakan ajakan Genta. 

"Nih, pake." Karina hanya menaikan alisnya sebelah, bingung. "Baju ganti lo. Pake dulu, lo pasti udah mandi kan?"

"Thanks?" Genta hanya melongos pergi. Padahal duh, kok tiba-tiba Karina deg-degan. Pipinya juga menghangat, hanya karena sepasang baju yang Genta berikan.

Pagi ini mereka lalui berdua. Deburan ombak menjadi pemandangan pagi yang sudah lama tidak mereka lihat. Genta yang asik memfoto pemandangan—dan tentu perempuan yang ada di depannya. Sedangkan Karina, dia masih fokus untuk tenggalam dalam pikirannya. Pagi yang menyenangkan ini tetap tidak bisa menghilangkan beban di pikirannya. Entah apa yang sedang dia pikirkan, otaknya terus berputar sedangkan hatinya terus bergejolak. Mungkin memang badannya Karina ada di pantai itu, tapi jiwanya sudah terbang entah kemana. Satu helaan nafas lolos dari mulut Karina.

"Oke, stop kayak gini. Lo abis diapain?" tanya Genta to the point.

Karina hanya terus memandang ombak yang bergulung-gulung itu, tanpa menjawab pertanyaan Genta. "Menurut kamu, kenapa ya perselancar tuh mau dan sengaja berenang ke tengah laut, terus mereka rela panas-panasan, nunggu ombak dateng, cuma buat ditelan sama ombak yang mereka udah mereka tunggu. Buang-buang waktu nggak sih?" ucap Karina terkekeh.

Genta tahu, apa yang dikatakan Karina hanya sebuah racauan belaka. Karina nggak benar-benar ingin menanyakan hal tersebut. Karina cuma mau, supaya mereka berdua nggak membahas hal yang menyebabkan Karina datang ke pantai ini.

Genta mengalihkan pandangannya pada ombak yang sedaritadi menyita perhatian Karina. Dia melihat melalui kacamata hitamnya, dan mulai duduk mendekat disebelah Karina. "Lo tau nggak sih, nggak semua ombak bisa dinaikin sama semua perselancar?" Karina menggeleng.

"Lo tau juga nggak, apa yang harus dilakuin si perselancar itu buat ngelewatin ombak yang datang ke mereka, tanpa mereka harus ikut keseret sama ombak yang dateng?" Tatapan Karina sepenuhnya sudah dia sudutkan pada Genta. Obrolan tanpa sengaja yang Karina lontarkan, ternyata dibahas serius sama Genta.

ErstharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang