33| explanation

362 75 25
                                    

Baik Yohan, Karina, dan si Dokter teman Papi, mereka setuju untuk tetap merahasiakan hal ini dari keluarga Papi dan Mami. Bagaimanapun, ini bukan ranah Karina, Om Yohan, apalagi si Dokter untuk berbicara dan memberitahukan perihal sakitnya Papi kepada orang di sekitarnya. Apalagi, kata dokter yang merawat Papi, kondisi Papi mulai membaik. Tinggal menunggu waktu untuk Papi siuman. 

Sebagai anak perempuan yang masih memiliki keluarga, tentunya Karina langsung disuruh Yohan pulang ketika waktu sudah menunjukan pukul jam 8 malam. Yohan tidak bisa mengantar Karina pulang karena dia  harus menunggu Jo di rumah sakit. Karina tentu saja menolak. Bagaimana dia bisa pulang ke rumah di  saat Papinya  sedang berjuang untuk hidupnya? Tapi setelah melalui bujukannya  Yohan, Karina akhirnya setuju untuk pulang ke rumah dan baru  akan kembali lagi besok pagi-pagi sekali. Karina belum mau Mami tau mengenai sakit  Papi, jadi untuk mengurangi kecurigaan Mami, Karina setuju untuk pulang. 

Karina tidak langsung pulang  ke rumah saat di suruh Om Yohan. Dia masih menunggu di taman rumah sakit entah untuk apa. Dia merenung sambil melihat langit malam yang dipenuhi dengan awan hitam yang bergulung tebal. Kursi taman itu hanya diisi oleh Karina seorang. Mungkin karena langit sudah menunjukan tanda-tanda untuk hujan, makanya tidak terlihat satu orang pun di taman itu. Karina duduk dan mulai  menutup wajahnya dengan tangannya. Dia ingin mengistirahatkan tubuhnya. Untuk sejenak, yang bisa dia hanya rasakan hanyalah suara gemuruh yang mulai bersautan. 

"Everything will be okay."

Karina tersentak. Menengok ke depan, melihat siapa yang berbicara dengannya.

"...."

Tangan itu mulai menggenggam tangan Karina yang semula dipakai untuk menutup wajah Karina. "Everything will be okay, trust me"

"How can i trust someone like you?" Karina menjawabnya dengan ketus. Matanya mulai memerah. Bibirnya mulai bergetar. Jelas ada rasa marah dan kecewa luar biasa yang tiba-tiba Karina rasakan setelah melihat dia. "Gimana bisa aku percaya sama seseorang yang bahkan pergi hampir satu bulan tanpa kabar yang jelas?!"

"Karina"

"Kamu juga ngapain ke sini? Udah selesai urusannya? Udah inget pulang?"

"Karina... please?"

"Kalau kamu kesini cuma mau bikin aku nggak sedih, nggak usah"

"Dengerin aku dulu, sebentar" 

Karina segera beranjak dari kursi taman, dia enggan untuk bisa berlama-lama. Tapi dia ditahan, dilarang untuk pergi.

"Karina, hey,  please, denger dulu ya? Kamu tau aku nggak bakal kayak gitu tanpa alasan. Please, dengerin aku." 

"Nggak mau, Genta! Lepas!"

"Nggak. please, jangan kayak gini."

"PERGI!" Karina mulai mengusir Genta dan mendorong laki-laki itu untuk menjauh. Dia bahkan tak segan memukul dada Genta dan melakukan apapun untuk menjauhkan Genta darinya.

"Karina— hey hey please, shh tenang dulu"

Karina memberontak. Tentu, rasanya dia benar-benar frustasi dan marah. Karina tidak mau disentuh oleh Genta. Dan itu menyakitkan. 

"Aku nggak mau liat kamu! tinggalin aku!" Satu persatu air mata itu keluar, membasahi pipi Karina yang pucat. Hidungnya memerah, begitu juga matanya.

"Nggak, nggak." Genta masih mencoba memeluk Karina yang memberontak. Tidak peduli bearapa pukulan atau dorongan yang Karina berikan untuk Genta. Yang Genta mau sekarang adalah Karina harus tenang.

"PERGI GENTA! PERGI!"

Karina tidak berniat untuk semarah dan sesedih ini karena Genta, sebetulnya. Dia hanya seperti balon yang sudah berada pada titik jenuhnya dan menunggu untuk satu hembusan nafas lagi untuk meledak. Sayangnya, hembusan peledak itu adalah Genta. Karina berusaha menahan dan menolak semua emosi yang dia rasakan akhir-akhir ini. Dari kondisi kantor yang sangat padat, ditambah pada rasa bingung, marah, dan  kecewa yang ditimbulkan untuk menerka-nerka dimana dan bagaimana kondisi Genta selama dia pergi. Dan yang terakhir, semua ini diperparah dengan kondisi Jo yang sangat tiba-tiba untuk bisa diserap akal sehat perempuan cantik itu.

ErstharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang