10| ikoy

374 75 7
                                    

Bagi Jevano membeli sebuah barang untuk orang terdekatnya bukanlah hal asing lagi. Begitulah caranya mengekspresikan bagaimana rasa sayangnya pada orang-orang di sekitarnya. Selain itu, Jevano juga orang dengan mulut yang sangat manis. Memuji orang lain bukan hal membuatnya malu karena gengsi.

Yah, love langguage Jevano bisa di tunjang dengan uangnya sih. Kebetulan dia sudah punya bisnis sendiri dari SMA. Sehingga sekarang, bisnisnya sudah busa dibilang sukses. Jeno juga termasuk ke dalam list entrepreneur start up termuda yang sukses. Selain itu, harta warisan yang dimiliki Jeno juga nggak akan habis setidaknya tujuh turunan.

Sekarang Jeno lagi ada di salah satu mall di Jakarta. Niatnya tadi mau cari kado buat Yesha- teman perempuan abu-abunya, soalnya Yesha ini habis dapet sebuah achievement gitu. Makanya sebagai apresiasi, Jeno ingin membelikannya sebuah hadiah. Tapi, ditengah perjalanannya mencari kado, Jeno malah melihat seseorang yang akhir-akhir ini suka mengacaukan pikirannya. Awalnya dia ragu, haruskah dia menghampiri orang itu? orang yang sedang melihat-lihat sepatu di retail Vans. Nggak menimbang lebih lama lagi, akhirnya Jeno memutuskan untuk mengjampirinya.

"Ersthara?" Perempuan itu menoleh kepada Jeno karena merasa namanya dipanggil.

"Oh untung ini beneran kamu, aku kira siapa tadi" ucap Jeno

"Jevano? what the hell are you doing here?" ucap Karina sedikit sewot. Buat yang nanya, kok Karina ngomongnya kaku banget sih? Iya, karena dia lagi berhadapan sama Jeno. Kalo nggak lagi sama cowo ini ya biasa aja. Tapi pada dasarnya Karina emang sedikit kaku sih orangnya- atau lebih tepatnya, datar?

Jeno mengangkat paper bag Diornya "Ini, tadi habis nyari kado"

Karina cuma bisa mangut-mangut aja, nggak bertanya lebih lanjut. Walau sebenernya dia penasaran itu kado buat siapa. Setahunya, mama Jeno lebih suka brand Channel dibanding Dior. Tapi pertanyaan itu ia urungkan. Karina tidak peduli, atau lebih tepatnya, nggak mau mencari sakit hati.....?

Karina tetap fokus pada pencarian sepatunya. Ia tertuju pada desain kolaborasi vans dengan salah satu film ternama. "Mas, sepatu ini, ukuran 44 nya ada?" Ucap Karina sambil memberikan sepatu itu ke penjaga toko.

"Oh ya, sebentar ya kak saya ambilkan dulu" ucap di penjaga toko

"Buat siapa?" Tanya Jeno pada Karina. Soalnya kan, nggak mungkin ya kaki Karina ukurannya sampe 44...?

Karina hanya melirik Jeno sebentar "Bukan urusan kamu" ucapnya dingin, sambil meneruskan kegiatannya dalam memilih sepatu.

Jeno tau, Karina masih membangun dinding pembatas itu sama Jeno. Awalnya Jeno nggak berniat buat menghancurkan tembok yang sudah dibuat Karina, karena ia menghargai keputusan Karina- atau lebih tepat dikatakan jika ia terlalu pengecut buat mengetuk dinding pembatas itu? Tapi sekarang, entah dorongan dari mana, untuk Jeno, dinding itu harus runtuh. Tidak peduli ada berapa penolakan yang Karina beri, Jeno akan tetap berusaha menghancurkan tembok itu. Tunggu, koreksi- bukan seberapa banyak Karina memberinya penolakan, tapi seberapa banyak sikap dingin dan acuhan yang Karina kasih kepada dirinya. Karena perempuan itu, dia hanya akan memberikan sebuah penolakan diawal. Sisanya, ia hanya akan bersikap dingin dan mengacuhkan lawan bicaranya. Membiarkan orang itu untuk berhenti sendiri karena merasa tidak dihargai, berhenti karena lelah mengejar, dan berhenti karena tidak kunjung mendapatkan timbali balik yang diharapkan. Karina bukan tipe orang yang membunuh secara brutal di awal, tapi ia membiarkan orang itu mati, secara perlahan. Bukan karena dirinya, Tapi karena kemauan orang itu sendiri, akibat sebuah keputus asaan.

Jeno tidak gentar dengan penolakan halus Karina. Dia masih tetap berada di toko itu sampai Karina selesai berbelanja. Tidak membutuhkan waktu lama, sepatu yang ia inginkan sudah datang. Karina langsung menuju ke cashier untuk membayar.

ErstharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang