36| ghania

298 61 11
                                    

Entah mengapa setiap Karina melakukan sesuatu yang mengundang kekhawatiran orang lain, pasti selalu Genta yang menjadi sasarannya. Maksud Karina, Genta bukan siapa-siapa, dan keselamatan Karina bukanlah tanggung jawab Genta. Sudah bagus jika sesekali Genta bisa menjaganya. Bukan berarti saat Karina dalam bahaya, semua orang bisa menyalahkan Genta.

Tentang semalam, dimana Om Yohan yang mengantarnya pulang, kemudian disambut oleh Mami di depan rumah. Iya, alasanya adalah Karina yang lembur di kantor, bukan karena menjenguk Papi di rumah sakit. Hingga kini, sepertinya Mami dan Om Tae adalah orang terakhir yang belum mengetahui kondisi Papi.

Pagi ini juga Karina langsung ditodong puluhan missed call dari Genta. Saat salah satu panggilan itu diangkat, ternyata Genta menanyakan kabar Karina semalam. Dia juga meminta maaf pada Karina karena tidak bisa menjemputnya. Sebenarnya, Karina nekat naik kendaraan umum kemarin bukan karena apa-apa, Karina semalam sudah bertanya Genta dimana dan lagi sama siapa, niatnya untuk minta tolong dijemput, tapi lagi-lagi Genta sedang berhalangan, karena lagi bersama Wella. Sekali lagi, itu bukan ranahnya untuk ikut campur. Biarkan Genta memiliki kehidupannya sendiri. Hingga akhirnya Karina memutuskan untuk naik kendaraan umum.

Saat Karina keluar dari kamarnya untuk sarapan, Karina sudah disambut dengan semangkuk cumi goreng saus padang yang Mami siapkan. Keduanya sarapan bersama dalam diam. Mami bahkan belum menyapanya dari tadi.

"Selesaiin makan kamu, setelah itu Mami mau ngomong." Jantung Karina berpacu sedikit lebih cepat. Tidak biasanya Mami bersikap seperti ini jika Karina tidak membuat masalah. Selama sarapan, Karina hanya mencoba mengingat-ingat, dosa apa yang telah dia lakukan akhir-akhir ini, dan dosa mana yang bisa memercik murka Mami.

Setelah semua piring itu bersih dan tidak tersisa, Mami menatap Karina dingin. Tatapannya amat tajam, tidak ada ekspresi yang ditunjukan Mami. Hanya sepasang mata yang menyorot penuh mata Karina intens. Dengan suasana seperti ini, Karina yang biasanya menatap lawan bicaranya tajam, sekarang dia bahkan tidak berani menatap kedua mata Maminya. Mami bukanlah perempuan yang bisa direndahkan. Auranya terlalu kuat. Dia dingin dan tidak bisa ditindas. Masih ingatkah kalian jika Karina dingin dan mengintimidasi, maka Irene bisa 10 kali lebih mengintimidasi dan menakutkan.

"Mau kamu yang ngomong duluan atau harus Mami pancing?"

"....maksud Mami?"

"Oke. Ternyata harus Mami yang ngomong. Sejak kapan Papi kamu sakit?" Pertanyaan itu sangat to the point. Tidak ada basa-basi. Karina yang dari dulu selalu berusaha menyiapkan jawaban apabila hari ini datang, tetap ciut dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Jawaban yang ia siapkan dari jauh-jauh hari mendadak buyar. "Mami... udah tau?" cicit Karina.

"Jawab pertanyaan Mami, Ersthara."

Baik, ultimatum telah diberikan. Karina harus menceritakan semuanya secara lengkap. Dengan rasa gugupnya yang menguasainya, secara perlahan Karina mulai menceritakan semua kronologi dan rentetan kejadian itu. Selama berbicara, Mami hanya diam memperhatikan. Sorot matanya tidak pernah berpindah dari kedua mata Karina.

"Kenapa nggak kasih tau Mami dari awal?"

"Mami, ini bukan hak Karina buat ngasih tau orang-orang disekitar Papi. Karina juga maunya Papi langsung cerita ke keluarganya sesegera mungkin. Bahkan tante Ghania juga baru dateng dari Chicago kemaren malem."

"Kamu ketemu Ghania?"

"hngg... iya."

Mami nggak memberikan respon apa-apa. Dia hanya diam. Karina tau ada banyak respon dan pikiran yang Mami simpan, Karina hanya tidak bisa menebaknya apa. Mami berdiri, membuat rambut panjangnya menjuntai bebas kebawah. Mami tetap terlihat anggun walaupun sedang marah.

ErstharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang