42|catatan pertama

375 59 12
                                    

Catatan dari Sang Penyabar, a.k.a. G. Nala Pradipati .

Melihat perempuan bernama Karina Ersthara Pranyasiwi untuk yang pertama kalinya, jelas gue nggak ingat kapan. Saat itu gue masih umur berapa, ya? Gue juga lupa, tapi kayaknya sih umur 6 atau nggak 5. Yang bisa gue inget dari anak itu adalah gimana dia yang selalu murung dan menyendiri. Dia nggak punya teman, jelas. Bahkan, masih bisa gue ingat dengan jelas, suatu kejadian dimana saat itu, gue udah siap-siap di depan rumah untuk berangkat sekolah, Iya, gue ikut pre-school di Chicago sejak umur 3 dan saat itu kayaknya dia belum sekolah. Gue ingat kalau gue dengan jelas lihat ada anak perempuan duduk di kursi taman depan rumah gue, dengan coat warna hitam yang dikasih garis double neon warnanya ungu di seluruh pinggiran coatnya. Anak itu kecil, tapi menggemaskan. Saat itu gue bisa langsung nebak kalau dia memang lebih muda daripada gue. Rambutnya panjang dan bagus. Rambutnya agak berantakan di depan, kayaknya itu poni. Tapi panjang poninya sama sih kayak panjang rambutnya. Jadi, namanya apa ya? Ya itu pokoknya. Rambutnya suka nyangkut di tudung coatnya yang terbuat dari bulu warna ungu juga.

Kayak bunga.

Itu kesan yang gue tangkep ke anak itu. Dia putih, pink dan ungu. Pipinya gembil ditambah ada semburat rona merah disana, walaupun samar. Ya nggak heran sih, sekarang lagi winter, pipi gue pun bakal terlihat kayak gitu sekarang, karena gue kedinginan. Tapi entah gimana, anak ini terlihat lucu—dan hangat. Meskipun begitu, yang menarik perhatian gue sejak awal bukan karena bagaimana perawakan anak itu, tapi bagaimana dia yang duduk sendirian di taman—ditengah turunnya salju—di daerah rumah kami. Ini dingin banget, gue nggak bohong. Tapi kenapa dia malah di luar, sendirian, dan tatapannya selalu mengarah ke bawah—atau ke sepatunya, ya? Nggak tau. Gue yang masih pre-school saat itu, udah bisa mikir, "Orang tua anak itu kemana? Kenapa dia mau ya dingin-dingin disini? Kenapa dia nggak sekolah aja ya sama kayak aku?" itu yang ada di pikiran polos gue saat itu.

Karena gue penasaran, berniatlah gue menghampiri anak itu. Gue mau nanya, kok dia disini sendirian, dan nggak sekolah. Gue aja sekolah, gitu. Akhirnya, gue jalan ke tepi jalan, melongo ke kanan dan ke kiri buat siap-siap nyebrang. Soalnya kata Mama, "Nala kalau mau nyebrang harus liat ke kanan dan ke kiri, kayak kelinci" dan gue iya kan. Duh, gemasnya gue. Tapi, saat gue baru mau jalan ke depan, Mama gue keburu teriak kayak emak-emak di sinetron. Manggil gue supaya nggak kemana-kemana, dan sempat-sempatnya menuduh gue mau kabur bolos sekolah. Gue nggak inget, dulu doi teriaknya pake bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Yang jelas, gue sudah menguasai kedua bahasa itu, walaupun masih gagu kalau disuruh cerita pakai bahasa Indonesia.

Yaudah deh, niat gue buat ngehampirin anak itu terpaksa kandas. Akhirnya hari itu gue sekolah, dan haha-hihi seharian bareng peer group gue. Saat itu, sekolah gue itu termasuk sekolah yang full day. Sebagian besar temen-temen gue, disekolahin disitu karena orang tuanya yang sibuk dan nggak bisa nemenin mereka seharian, atau karena mereka itu anak yang energinya terlalu besar. Bisa gila orang tua mereka kalau anak-anaknya dibiarin ngereog di apartemen atau rumah masing-masing. Gue? Gue masuk di keduanya sih. Mama gue bilang, energy gue terlalu disayangkan kalau nggak disalurkan ke hal yang bermanfaat, padahal aslinya mama gue aja yang udah nggak kuat harus ngurus gue sendirian, apalagi doi juga buka bakery di deket rumah.

Singkat cerita, waktu pulang sekolah gue tiba, gue dijemput Mama. Dan lagi-lagi gue melihat coat hitam-neon ungu itu, lagi. Dia masih duduk ditempat yang sama. Bedanya, sekarang ada heater portable di sampingnya. Mungkin dia udah mulai kedinginan kali ya. Pas gue liat anak itu masih disana, gue langsung turun dari mobil dan nyebrang ke taman itu. Gue tanya, dia lagi ngapain. Setelah gue tanya, dia cuma ngeliatin gue tanpa buka suara sama sekali, dan tiba-tiba pergi ninggalin gue. Dia jalan ke wahana rumah-rumahan yang ada di taman itu sambil nenteng heater portablenya kemana-kemana. Masih dengan rasa penesaran gue, akhirnya gue ikutin dia. Gue lihat dia lagi duduk sambil meluk lututnya. Mukanya dia masukin ke sela-sela kakinya. Gue cuma bisa duduk di sebelahnya, diem juga.

Ragu-ragu gue sapa dia, "Hi...?"

Lagi-lagi nggak ada jawaban. "I am Nala." Kata gue. Berharap dia bakal kasih tau namanya juga. Ternyata nihil, sodara-sodara. Anak ini kepala batu. Gue masih duduk disana, lama. Ada kali ya 3 jam gue cuma duduk disebelah dia, di dalam wahana rumah-rumahan. Lumayan, hangat juga karena dia bawa heater portable. Karena jiwa reog gue nggak bisa dikurung kayak gini buat waktu yang lama, gue inget tuh, gue ngeluarin mainan boneka dinosaurus punya gue dan mulai ngehalu dengan menyusun cerita Godzilla yang akan menghancurkan ultraman beserta prajurit plastik yang gue bawa di dalem tas. Dari pada gue bosen, mending mainan kan.

"Godzila bad, bad." Terdengar suara anak perempuan yang akhirnya gue tungguin sedari tadi.

Gue bingung. Siapa dia yang bisa menilai akhlak dari karakter yang gue buat??? Apa dia nggak tau kalau kedua tokoh ini adalah sama-sama pahlawan yang lagi salah paham aja karena yang satu robot yang satu hewan makanya mereka salah paham??

"They are good." Bales gue singkat, sambil masih mainin si Godzila sama ultraman.

"Godzila yelled at him. Like Papi did to Mami. They are bad." Oh, ada satu hal yang bisa gue tangkep. "Are you Indonesian?"

"I don't know. Mami said I'm Indonesian, but I'm in Chicago." jawab dia. Jawaban yang bikin gue mau ketawa. Bersyukur orang tua gue udah menjelaskan konsep kewarganegaraan ke gue sejak gue piyik.

"So you speak bahasa?"

"Little bit."

"Papi kamu jahat?" dia diem, terus ngangguk. "Like Godzila" katanya.

"But Godzilla is not."

"Papi kamu berteriak?" tanya gue. Iya, bahasa Indonesia gue masih amat sangat kaku krispi waktu itu, and so was she. Jujur, meskipun gue masih kecil, gue sudah sangat aware tentang bagaimana gambaran orang yang harus dihindari, karena di sekolah, Miss gue mengajari itu. dan menurut gue, dia nggak akan baik-baik aja kalau Papinya suka teriak ke dia. Sebagai laki-laki yang lebih tua dari dia, dan gue memiliki empati yang sangat besar, detik itu juga, gue bepikir dan berjanji, bahwa anak ini harus gue jaga kayak adik gue sendiri. Sampai sekarang, setelah belasan tahun lamanya, gue berhasil nepatin janji gue untuk bisa menjaga anak itu. Masalahnya, gue nggak bisa nepatin janji gue buat jaga anak itu seperti adik gue sendiri. Karena ternyata, gue jatuh cinta sedalam-dalamnya sama bocah bunga yang gue temuin di depan taman rumah gue.

Sampai sekarang pun, gue maunya cuma dia. Sampai akhir nanti, gue maunya cuma dia. Gue berharap, kalau bukan dia, gue nggak akan mau menjalin sebuah hubungan kembali. Kenapa gue berharap? Karena gue nggak tau rencana Tuhan nanti. Gue juga paham, kalau Tuhan bisa membalikan perasaan anak-anaknya semudah bagaimana dia menciptakan sebuah kehidupan. Gue bukan mau nggak beriman sama ketetapannya, tapi cuma mewanti-wanti itu semua. Makanya, gue berharap kalau perasaan gue akan selamanya berada pada perempuan yang sudah gue temui dan gue jaga sejak jaman gue piyik. Berharap kalau gue bisa menjaga janji gue sampai Tuhan bilang cukup, dan menyuruh gue pulang kembali. 

Bagaimanapun, gue percaya bahwa Tuhan mendengar doa hambanya, jadi gue juga percaya, kalau gue dan Ersthara pada akhirnya akan tetap berjalan berdampingan sampai kami mencapai batas umur kami. Kalau ternyata gue pergi duluan, tolong, sampaikan ke dia bahwa gue ada di tempat yang paling indah. Gue akan menunggu dengan sabar sampai dia bisa mencapai nirvana yang selalu kami dambakan. 

Regards, Ganteng Nala Pradipati 

Regards, Ganteng Nala Pradipati 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ErstharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang