40|Jimbaran

383 66 48
                                        

"Kalo sampe akhirnya hati lo maunya tetep Jevano, silahkan kembali."

Dari sekian banyak kalimat yang diucapkan oleh Genta, hanya kalimat itu yang terus ternginang-ngiang di otak Karina.

"Kalo sampe akhirnya hati lo maunya tetep Jevano, silahkan kembali."

Kalimat itu bukan seperti kalimat anjuran lagi, tapi itu lebih terdengar seperti sebuah kalimat perintah yang selama ini dia tunggu-tunggu. Beberapa tahun terakhir, otaknya selalu melarang dia untuk kembali pada Jevano. Seperti sebuah sistem yang melarang benda bernama Jevano untuk mendekat. Namun, dibalik semua itu, jauh dalam hatinya, Karina masih ingin bersama. Hatinya terus menanyakan tindakannya itu. Persetan dengan rasional, perasaannya masih selalu sakit setiap meningat bahwa Jevano tidak lagi bersamanya. Namun sayang, yang memegang kendali lebih atas dirinya adalah pikirannya. Sehingga Karina berhasil menjaga jarak dari Jevano, walau hati kecilnya terus berteriak. Layaknya anak kecil yang selalu dilarang oleh orang tuanya untuk berlari, namun ketika dia di beri kebebasan, anak itu akan mulai berlari sepuasnya. Apa yang telah Genta katakan, seperti sebuah bendungan yang dihancurkan. Bendungan yang menahan derasnya debit air yang siap menghanyutkan sekitar.

Lama menimbang-menimbang dan memikirkan apa yang Genta baru katakan, akhirnya Karina membuat sebuah keputusan. Karina akan melakukan apa yang harus dia lakukan, yaitu memilih. Jika Genta sudah menyatakan perasaannya kemarin, maka sekarang giliran Karina untuk memilih. Dia tidak bisa hanya menggantungkan perasaan Genta, kalau memang ternyata yang Karina mau bukan dia. Karina mengambil handphonenya, dan menekan angka 1 pada handphonenya, hingga sebuah nama muncul. Nama dengan kenangan yang belum bisa Karina lupakan.

"Jeno, aku butuh ketemu"

◽️◾️

Kata orang tingkat tertinggi dalam mencintai seseorang adalah dengan mengikhlaskannya. Bukan tanpa sebab Genta berbicara kayak gitu kemarin. Tentu, dia maunya Karina bisa jadi miliknya sendiri. Tetapi, ada beberapa hal di dunia ini yang nggak bisa Genta paksakan. Termasuk membuat Karina jatuh cinta. Bukannya Genta nggak sadar tentang beberapa kilatan perasaan yang terkadang muncul antara mereka berdua, bukan. Jelas Genta juga bisa lihat itu. Tentang gimana pipi dan telinga Karina yang terkadang berubah kemerahan saat Genta menggenggam tangannya. Atau saat Genta mengikis jarak antara keduanya dan Karina mulai tidak bisa menatap tajam pada maniknya saat itu juga. Jelas Genta tau itu dan dia bersyukur karena itu. Tapi apa bisa, sebuah kilatan mengalahkan tatapan damba setiap kali Karina melihat ke arah Jevano? Nggak, Genta nggak bisa. Setelah 21 tahun menjadi saksi atas hidupnya Karina, Genta tau, kalau Jevano benar-benar sang cinta pertama.

Dia bukan orang egois yang mau menyimpan Karina demi kebahagiaannya. Toh selama ini keduanya juga berteman baik dan Genta masih bisa hidup dengan hubungan seperti itu. Jadi kalau dipikir-pikir, melepaskan Karina kembali pada Jevano tepat setelah dia melakukan pengakuan cinta, itu adalah hal yang baik. Paling tidak, Karina tau kalo Genta benar-benar menyayanginya, entah sebagai teman kecilnya atau sebagai seorang wanita. Risiko dari tindakannya yang kemarin pun bisa Genta terima dengan hati yang lapang. Bukan bermaksud buat pesimis, tapi intuisi sering kali turut bermain pada masa depan yang akan datang. Dan perlu diingat, He's not giving up on her. He just knows his boundaries. Walau bukan hamba yang taat-taat banget, Genta tetap berdoa kok pada waktu-waktu krusial. Meski perasaannya berkata yang tidak-tidak, Genta tetap berharap kalau Karina benar-benar tidak akan berputar arah dan mulai menatapnya secara utuh, tanpa bayang-bayang ketakukan dikecewekan atau ditinggalkan.

Tapi ternyata, apa yang dilihatnya hari ini terasa seperti jawaban langsung dari Tuhan akan doa-doanya. Di restaurant itu, dengan gemerlap bintang yang memenuhi malam, Genta melihat Karina, didekap erat, oleh sang pemilik hati. Nyaman dan hangat, bahkan dari kejauhan Genta bisa turut mersakan itu. Dinginnya malam mulai menusuk Genta kuat. Dia dikecewakan. Dikecewakan oleh harapannya sendiri. Bukan salah Karina, juga bukan salah Jevano. Tapi Genta jelas butuh sesuatu untuk jadi sasak tinjunya. Sialnya dia nggak bisa marah, dan nggak punya hak untuk marah walau dalam perasannya, sudah ada panas yang membara. Selama ini Genta selalu jadi anak yang baik dengan hati yang sangat lapang. Dia bisa menekan ego dan perasaannya jika itu bersangkutan dengan Karina. Seikhlas apapun Genta, jika itu Jevano, tetap ada perasaan marah yang muncul. Kenapa harus Jevano? Kenapa harus laki-laki brengsek yang bahkan dia nggak bisa memilih satu wanita dalam hidupnya. He doesn't deserve her. Genta bersumpah, Kalau itu laki-laki lain, mungkin Genta masih bisa terima. But if it comes to Jevano, Genta benar-benar nggak rela. Omongannya yang kemarin, sejujurnya benar-benar menyiksa Genta. Menurutnya, kalau memang Genta tidak bisa jadi satu-satunya pemilik hati Karina, maka perempuan itu berhak untuk pergi. Karina punya hak untuk mengejar cintanya sendiri. Masalahnya, satu-satunya pemiliki cinta Karina adalah Jevano. Hanya Jevano, tidak ada yang lain. Genta tetap tidak bisa memercayai Jevano, tapi egois untuk Karina kalau Genta melarangnya.

ErstharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang