32| seandainya

319 59 3
                                    

Suara mesin ac itu terdengar tenang. Mengisi kekosongan di ruangan berwarna putih  itu. Ditemani dengan suara jari yang mengetik keyboard komputer itu dengan cepat. Hari ini perempuan itu mengepang rambut panjangnya menjadi satu. Dilengkapi dengan ikat rambut dengan aksen pita yang mengikat kepangannya.

Satu hal pasti yang membuat perempuan itu memilih kepangan rambut ini: alam bawah sadarnya merindukan seseorang. Seseorang yang selalu mengepang rambutnya di kala bosan. Seseorang yang rela belajar berbagai model kepangan agar dirinya tidak terlihat monoton. 

Terdengar suara ketukan pintu, membuatnya sedikit berteriak untu mempersilakan tamu itu untuk masuk.

"Mbak Karina, ini ada paket dari rumah sakit Siloam"

"Rumah sakit Siloam, Mang Ujang?" ulang Karina.

"Iya mbak"

"Ditujukan kemana itu Pak?"

"Disini cuma ditulis untuk direktur JJS gitu aja mbak. Saya nggak tau, mungkin pengajuan kerjasama milik Pak Jonathan."

"Ah, gitu ya? yaudah saya terima aja ya, Pak? nanti saya kasih ke Pak Jonathan"

"Iya, makasih ya Mbak Karina. Saya ijin pamit."

Karina sedikit bingung dengan map yang  bertuliskan rumah sakit Siloam itu. Seingat dia, selama Karina memegang JJS sepertinya tidak ada kerjasama dengan Siloam. Tapi samar-samar sepertinya Karina  ingat bahwa Papi memnag dekat dengan Direktur Siloam juga. Jadi mungkin ini semacam kerja sama tidak resmi? entahlah.

Karina awalnya tidak tertarik dengan map itu. Menurutnya, itu adalah urusan Papi. Tidak sopan jika Kairna harus membukanya terlebih dahulu. Tapi semakin lama, perhatian Karina tidak bisa ia  alihkan lagi dari map berwarna hijau itu. Karina mulai membukanya, dan seketika rasanya jantungnya sudah tidak tiada. Dia sempat freezing di tempat. Perlahan tangannya mulai gemetar. Panik itu datang, lagi. Menggerogoti seluruh tubuh Karina. Bahkan, untuk  bernafas pun sekarang Karina kesusahan. 

Dia membutuhkan obatnya. Obat yang selalu Genta bawa kemana-mana untuk berjaga-jaga. 

Karina mulai mengepalkan genggamannya. Mencoba bernafas dengan normal. Menjaga detak jantungnya agar  bisa lebih tenang, namun ternyata tidak bisa. Dia duduk, mencoba mengingat sesuatu. Karina ingat Genta pernah menaruh obatnya disatu tempat di  ruangannya, tapi dimana. Masih dengan tangan yang bergetar Karina mencoba membuka lacinya satu persatu. Ada banyak barang yang berjatuhan karena dia tidak bisa mengontrol gerakannya. Jangankan mengontrol gerakannya, bernafas pun susah. Karina kepalang panik dan dia tidak tau harus apa.

Mungkin dewi fortuna menyayanginya kali ini. Obat itu ketemu. Berada di laci yang berisikan stock-stock alat tulis yang nantinya mungkin akan dibutuhkan Karina. Dia langsung meminum obat itu. mengambil 3 pil sekaligus. Tidak apa-apa menyalahi aturan pakai sekali-kali, menurut  Karina. Toh dia sudah lama tidak mengonsmsi obat penenang ini. 

Kepang rambut yang semula terkucir rapi sekarang sudah  mulai lepas satu persatu. anak rambut Karina  mulai terlepas kemana-mana. Tatapannya  kosong. Bahkan sekarang Karina  sudah  melepas blazer  dan  heelsnya. 

Karina menangis. Akhirnya dia paham bagaimana caranya  menangis. Karina teramat sedih dan tersiksa. Lagi-lagi dia harus menangis, tapi untuk yang sekarang, Karina tidak membeci alasan yang membuatnya menangis. 

Saat sudah merasa tenang, Karina segera ke luar dari ruangannya sambil membawa map hijau itu. Selembar  kertas yang memberhasil membuatnya mengalami kepanikan luar biasa itu  lagi. Selembar kertas yang berhasil membuatnya menangis sesak. 

"Ada surat." ucap Karina dingin dan tenang. Penampilannya sudah kembali rapi. Menyihir Karina kembali menjadi perempuan tangguh yang dingin. 

"Oh yaudah, taruh di lemari file itu aja"

ErstharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang