5. Nalar

4.4K 895 380
                                    

Yuhuuu, jangan lupa tinggalkan jejak buat nandain kalo kalian baca ini☺

🏡🏡

"Liat ke sana, gue yakin sakit lo hilang."

"Setuju, gue demen banget tiap liat Lano diem gitu natap ring basket."

"Berdiri tengah lapangan panas-panas, mana tangannya di pinggang terus matanya kesilauan kayak gitu, sengaja banget narik perhatian para cewek."

"Heran, tiap kelas kita olahraga pasti ada aja yang ngintip dari jendela. Malahan kumpul depan kelas. Gitu tuh kelakuan kelas sepuluh."

Dari tadi Winda, Maya, sama Hika seolah saling beradu pendapat tentang Lano yang sekarang memang masih berdiri di tengah lapangan.

"Perhatiin, bentar lagi kalo bola itu masuk ring, Lano pasti senyum. Cepet perhatiin, La."

Refleks Nala hadap ke depan, mengabaikan kotak makan di meja. Ia tidak berniat mengamati satu orang di tengah lapangan. Tapi memang keberadaan Lano di sana punya daya tarik sendiri sehingga pusat perhatian orang-orang pasti tertuju ke sana. Saat ini bola kembali dilempar oleh Lano ke arah ring setelah sebelumnya gagal masuk.

"Semoga bolanya bisa diajak kerja sama, biar bisa liat senyum puasnya cogan." Maya terkikik.

Detik saat bola itu menyentuh ring, lalu perlahan berputar dan lolos melewati basket meluncur kembali ke bawah membuat teriakan itu terdengar. Tentu saja dari tiga teman di samping kanan kiri Nala, juga beberapa siswi lain yang sedari tadi menunggu momen paling berharga bagi mereka yang menunggu.

Lano memang tersenyum puas di tengah lapangan, sebelum menangkap bola yang meluncur ke arah cowok itu. Lano juga masih mempertahankan lengkungan bibirnya saat berbalik ke arah teman-temannya. Terlihat satu kali Lano mengangkat lengan untuk mengusap keringat yang ada di dahi lalu menatap atas mengamati terik yang membuat sekujur tubuhnya hampir basah karena keringat.

Nala mengernyit heran. Perasaan, senyum Lano ya sama seperti senyum orang-orang pada umumnya. Ia bahkan pernah mengakui kalau Lano memang punya daya tarik sendiri. Tapi sekadar itu, tidak ada lebih baginya. Kenapa semua cewek pada heboh gitu?

"Senyum sama bola aja ganteng banget, apalagi kalo senyum sama pacarnya coba." Kata-kata Hika memang kadang berlebihan.

"La, beneran lo nggak heboh?" Winda kaget lihat ekspresi Nala yang biasa saja.

"Pacar Nala ganteng banget pasti, Win. Makanya udah nggak kaget liat cowok cakep."

"Tapi Lano cakepnya beda nggak sih," gerutu Hika. "Ganteng tapi nakal, banyak. Ganteng tapi pendiam juga banyak. Ini kayak ganteng tapi tengil nyebelin."

"Gemesin juga." Maya menambahkan lagi.

"Lo nggak nge-fans dikit aja gitu, La? Minimal sama hidungnya deh."

"Iya, itu hidung apa perosotan ya. Lancip lurus keliatan licin. Nyamuk kalo mampir di sana kayaknya tergelincir."

"Nggak gitu juga perumpamaannya, Hika." Winda menepuk dahinya sendiri.

"Eh, btw, jangan berisik mulu kita. Nala masih sakit mungkin." Maya menoleh ke Nala dengan tatap khawatir. "Lo udah sembuh?"

Nala mengangguk. "Udah mendingan."

"Untung aja Lano yang ngizinin lo ke guru. Kalo nggak, nggak pernah ada yang berani tuh izin. Mungkin kalo pingsan dulu baru meyakinkan."

Nala menengok ke sekitar. "Tapi aku nggak lihat Vira dari tadi."

"Katanya sih di UKS." Winda mengedikkan bahu. "Sering banget dikit-dikit ke UKS, sakit apa ya dia? Kasian juga kan kalo sakitnya parah."

"Sejak nggak deket sama Lano kayaknya." Hika mencoba sotoy. "Gue perhatiin sih gitu. Mungkin sakit hati."

ELANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang