13. Melepas

3.6K 908 365
                                    

03:53. Kamu?

🏡🏡

Gerakan terakhir Lano adalah mengusap ukiran nama sang mama di batu nisan. Ia tersenyum sebelum mengecup satu kali di sana.

"Udah 3 tahun ya, Ma," gumamnya. Tatapnya terarah ke satu lagi nisan tepat di samping milik mamanya. "Papa juga ... udah 6 tahun."

Dengusan Lano terdengar, bentuk dari usahanya untuk mengusir sepi yang mulai menyeruak. Dulu ia baik-baik saja. Ditinggal papanya hanya sedih sebentar, lalu saat disusul mamanya, Lano juga masih sama seperti sebelumnya.

Ternyata sekarang baru terasa, kalau tidak punya orang tua ternyata sebegini tersiksanya. Dulu ia masih sekolah dasar lalu sampai sekolah menengah pertama, tidak sempat bertanya bagaimana arti meninggalkan untuk selama-lamanya.

Lano pikir, hidup sama kedua kakaknya yang serba sempurna dalam memperlakukannya itu sudah sangat cukup. Memang begitu kenyataannya. Lebih dari cukup. Tapi semenjak Lano beranjak remaja dan tahu arti sesungguhnya, tetap saja ada yang terasa kurang.

Tapi diam memang jadi alasannya baik-baik saja selama ini. Ia tidak mau membebani dua kakaknya yang pasti merasa hal yang sama, bahkan lebih berat dari yang ia pikul sekarang. Jadi Lano tidak mau menambah beban dengan rengekan tidak guna.

Lano harus berdiri sendiri walau kadang tidak tahu arah langkahnya mau ke mana, cita-citanya apa, kosong semua.

"Lan."

Mendengar panggilan itu sontak membuat Lano menoleh. Ia terkejut lihat Vira di sampingnya, menabur bunga ke atas makam. Tidak sekali dua kali Lano mengajak Vira ke sana, dulu.

"Gue masih sering nengokin," gumam Vira, lalu menatap Lano. "Lo tetep nangis ya tiap ke sini?"

Lano menolak saat tangan Vira terulur ke arah wajahnya. Kalau dulu mungkin ia masih menerima perlakuan itu. "Gue udah selesai. Lo boleh lanjut, tapi gue balik duluan."

Lano tidak menolak kalau Vira datang ikut mendoakan. Mungkin ada beberapa kebiasaan-kebiasaan yang belum bisa dihilangkan.

Baru juga beberapa langkah Lano keluar dari area makam, ia menyadari bahwa Vira mengikutinya. Tapi ia tidak berusaha menoleh atau mengajak. Vira ke sana atas kemauan sendiri, jadi silakan kalau mau pulang sendiri.

"Lo nggak kangen kita, Lan?"

Pertanyaan lirih itu tetap tidak mampu membuat Lano berhenti melangkah. Saat sampai di samping motor, ia meraih helm dan memakainya.

"Boleh ngobrol? Bentar aja," pinta Vira. Wajahnya begitu sendu dan siapa saja tahu sepekat apa kesedihannya.

"Kita udah sering ngobrol, Vir." Lano menyalakan motornya.

"Gue minta ini yang terakhir. Gue beneran butuh ngobrol sama lo."

Mendengar kata terakhir terasa lebih meyakinkan di telinga Lano. Ia ingin menyudahi, dan memang ia sudah memutuskan tidak lagi ada apa-apa di antara keduanya. Tapi saat ini sangat berharap Vira juga bisa ikhlas melepasnya.

"Di depan aja." Lano akhirnya menyetujui usul Vira. "Lo ke sini dianter?"

Vira mengangguk. Ada senyum tulus yang terpancar di matanya. "Masih boleh bonceng? Cuma sampe depan."

Lano tidak menolak. Ia menoleh ke belakang seolah memberikan kode pada Vira agar duduk di boncengannya. Motor sudah berjalan. Di depan kata Lano itu memang di sebuah warung yang bahkan tidak ada seratus meter dari tempatnya parkir tadi.

Lano turun lebih dulu dan mengambil dua minuman dingin di sana. Vira sudah lebih dulu duduk di bangku rotan panjang yang menghadap jalanan. Ia menyusul duduk di sampingnya.

ELANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang