11. Ada Gue

3.3K 874 317
                                    

Sore🦱

🏡🏡

Nala berjalan pelan selepas keluar dari toilet di bandara. Ia hanya mengulur waktu. Karena ia sama sekali tidak tahu apa yang akan dilakukan kakaknya sesampainya di kota kelahirannya ini. Terbukti saat langkah pertama Nala menampakkan diri, Bagus segera menghampiri.

Meski kakaknya itu seperti masih sibuk menghubungi seseorang lewat ponsel, namun tidak lama sudah sampai di depan Nala. Makin membuat perasaannya tidak karuan.

"Laper?" tanya Bagus pelan, sembari memasukkan ponsel ke saku.

Nala menggeleng. Akan bohong kalau ia jawab lapar saat sebelum berangkat saja mereka sudah menyantap makanan berat. Alasan kedua, Nala benar-benar tidak nafsu makan karena kondisi hatinya tidak baik-baik saja.

"Ya udah," kata Bagus, lalu meraih pergelangan tangan adiknya untuk mengajaknya menuju tempat parkir.

Nala sudah berencana akan istirahat di rumah dulu malam ini. Meski ia tahu pasti tidak akan semudah itu terlelap. Foto Rava dan cewek lain masih membuat kepalanya pening. Ia bahkan sudah berusaha mengenyahkan air matanya sedari tadi.

"Syukurlah sampai dengan selamat Mas Bagus sama Mbak Nala." Itu sebuah sapaan dari Pak Har yang menjemput keduanya.

"Saya sendiri aja, Pak Har," tolak Bagus dengan sopan saat hampir dibukakan pintu. Ia meminta Nala masuk ke mobil dulu sebelum menyusul duduk di sampingnya.

"Langsung jalan nopo pripun, Mas Bagus?"

"Nggeh, Pak." Bagus membalas senyum Pak Har, sopir dan orang kepercayaan keluarga yang menempati rumah mereka di sini. "Oh iya, motor yang saya pesan minggu lalu udah sampai rumah?"

Mendengar itu, Nala yang awalnya bersandar karena cukup lelah sambil memejamkan matanya segera menatap Bagus. "Motor apa, Mas?"

Bagus menoleh ke Nala sekilas sebelum kembali memperhatikan depan. "Ada yang ambil motor Bapak."

Nala tersentak. Matanya mengerjap kaget. Ia tidak lupa bahwa Rava meminjam motornya. Waktu itu bilang seminggu dan ia percaya bahwa Rava pasti mengembalikan tanpa diminta, sesuai janji. Tapi apa benar motornya belum dikembalikan sampai detik ini?

"Sudah itu. Makasih banyak. Saya jadi nggak enak karena Mas Bagus beli buat saya juga. Maaf jadi merepotkan."

"Mboten, Pak. Nggak merepotkan."

Nala makin menciut di tempatnya. Pikirannya tidak bisa lepas dari kemungkinan terburuk meski berusaha ia sangkal. Berkali-kali ia meyakinkan diri. Rava pasti tidak benar-benar jahat padanya. Ia mengenal Rava sejak pertama masuk SMA. Ia kenal pribadi Rava dengan amat baik.

Karena selama masa remajanya, Nala hanya dekat dengan satu cowok. Hanya Rava dan ia tidak punya pembanding lain yang lebih baik darinya.

"Kita pulang kan, Mas?" tanya Nala dengan tatapan resah. Ia takut kalau hal terburuk terjadi setelah ini.

Tapi yang didapatinya, Bagus hanya berdehem tanpa menoleh padanya. Nala menyimpul dua tangannya di pangkuan. Ponselnya ada di tangan Bagus sejak keberangkatan mereka. Nala sama sekali tidak diberi akses untuk mengabari Rava.

"Rava ... cuma pinjam aja." Nala mencoba menjelaskan meski kakaknya tidak mungkin menanggapi. "Pasti dibalikin. Jangan diminta sekarang. Aku nggak enak sama dia."

"Istirahat aja kamu, La." Bagus mendekat dan memeluk bahu adiknya dari samping. Pelan-pelan karena ia tahu bahu Nala masih luka.

Nala justru tidak akan bisa tidur. Selain pikirannya tidak menentu, juga karena menyadari kalau arah mobil sama sekali bukan ke rumah mereka. "Mas, jangan ke rumahnya—"

ELANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang